Educations

Beasiswa LPDP (Pengalaman S3 2021 vs S2 2015)

Bismillahirrahmanirrahim.

Saya dua kali dikasih rezeki beasiswa LPDP dengan kualifikasi saya yang sebenarnya minim.

  1. 2015: IPK S1 3.04, publikasi nihil, non-LoA (saya ke University of Edinburgh UK).
  2. 2021: IRT beranak bayi, tanpa institusi dan bahkan riwayat resign PNS, publikasi minim, non-LoA (insyaAllah ke TUDelft Belanda).

Pengalaman seleksi saat S2 saya pernah tuliskan di sini. Sedangkan di postingan kali ini, saya akan sharing hasil kontemplasi saya untuk seleksi jenjang S3 karena penekanan untuk S3 tentu berbeda dengan S2. Semoga bermanfaat 🙂

Saya tidak bisa share detail wawancaranya karena (kali ini) ada surat perjanjian kerahasiaan, tapi saya akan share kesimpulan dan jawaban saya dalam menghadapi wawancaranya. Ada tiga poin yang saya garis bawahi:

  1. Kenapa Indonesia perlu kita untuk kuliah topik itu di Luar Negeri (LN). Tarikan:
  • Kenapa harus kita (bukan orang lain. Bukan temen sejurusan kita. Bukan tetangga depan rumah kita)
  • Kenapa topik itu (apa urgensi topik itu untuk Indonesia saat ini dan di masa depan, serta konsistensi minat dan kontribusi kita terhadap topik tersebut selama ini)
  • Kenapa di kampus LN tersebut (jawaban spesifik. Mungkin kampus dalam negeri juga ada yg menawarkan topik itu dengan biaya yang jauh lebih rendah. Argumen kita harus bukan sekedar karena “bagus” “bisa membantu karir” — yang merupakan keuntungan buat kita, bukan Indonesia)

2. Kenapa kita perlu untuk S3. Tarikan:

  • Kalau jalur kita mau jadi dosen, jawabannya bisa lebih singkat. Perlu juga ada peyakinan bahwa kita beneran bakal jadi dosen (misalnya kita ada pengalaman ngajar, ada institusi cantolan, atau sudah diminta suatu universitas di Indonesia untuk bergabung setelah lulus S3)
  • Kalau bukan jadi dosen, bakal lebih panjang jawabannya. Perlu justifikasi kenapa kontribusi yg kita ajukan perlu kita untuk S3, serta argumen bahkan jaminan bahwa setelah lulus S3 kita benar akan melakukan kontribusi itu.

3. Apakah kita bisa diterima DAN lulus S3. Tarikan:

  • Kualifikasi akademik: publikasi di topik terkait, kuliah dan skill yang mendukung.
  • Usaha mencari kampus: LoA, pengalaman sudah menghubungi prospective supervisor.
  • Riset proposal yang ditawarkan: novelty, urgensi, kematangan.
  • Kualifikasi personal: pengalaman manajerial, perjuangan menggapai hasil di segala keadaan, jaminan bahwa situasi keluarga mendukung, pengalaman gagal, dll.

Terhadap ketiga poin tersebut, ini poin-poin jawaban saya:

  1. Kenapa Indonesia perlu saya untuk kuliah topik itu di Luar Negeri (LN).
  • Topik saya adalah tentang cybersecurity (tepatnya: privasi). Sehingga di seluruh dokumen saya konsisten ceritakan tentang pengalaman riset dan kerja di bidang ini (Allah memang sebaik-baiknya perencara. Secara tidak sengaja, saya ada pengalaman di bidang ini sejak lima tahun lalu). Saya juga awali dengan statement bahwa: “sejak sepuluh tahun terakhir, motivasi saya adalah berkontribusi untuk Indonesia” — yang memang benar adanya hehe idealisme masa muda. Lalu saya ceritakan bukti dari motivasi itu (e.g. magang di MPR, tugas akhir tentang DPR, gabung smart city, kuliah S2 yang terkait di Edinburgh, menjadi PNS Kementerian) serta bukti bahwa saya selalu do my best di setiap kontribusi itu. Lalu begitu saya resign PNS dan hendak menjadi akademisi, saya ambil S2 lagi yang teknikal (tekankan IPK 3.98, lulusan tercepat departemen, sambil mengurus bayi no-ART no-nanny suami-LDM) dan pengalaman mengajar di UI. Kesan yang hendak implisitkan adalah: saya seorang yang berjuang, nasionalis, dan strategis. Jika percaya bahwa ada hal bermanfaat yang patut diperjuangkan, saya berjuang maksimal untuk itu tanpa excuse.
  • Lalu saya ceritakan tentang urgensi topik saya. Saya awali cerita tentang riset dengan: “Pak X dan Bu Y pasti familiar dengan berita tentang kebocoran data (ceritakan kasus yang lagi hype). Itu baru awal saja ternyata, Bapak Ibu. Di masa depan (saya ceritain futuristik yang saya yakini, lalu masuk ke ranah spesifik yang akan saya eksplore plus kenapa ranah itu). Di Indonesia sendiri, (saya sadur ucapan direktur BSSN). Meskipun saat ini RUU Perlindungan Data Pribadi di Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 22 sejatinya sudah xxxx, tapi di masa depan ada celah yakni xyz”. Kebayang ya? 🙂 Saya implisitkan bahwa saya familiar terhadap: (1) state-of-the-art dan arah riset di ranah spesifik saya, (2) situasi Indonesia saat ini dan critical thinking tentang peluang masa depan di ranah spesifik saya itu. Lalu saya jabarkan kontribusi spesifik (“apa”, “untuk lembaga mana”, “apa signifikansinya”) yang saya niatkan bagi Indonesia pada 5, 10, 15 tahun mendatang.
  • Tentang kampus tujuan, ini agak tricky buat saya. Kebetulan suami saat ini PhD tahun ke-2 di TUDelft. Sehingga pasti ada asumsi kalau saya sekedar nyusul suami (dan iya, beneran ditanyain gitu sama pewawancara haha). Jadi saya sudah siapkan jawaban ini: “sejak awal, saya sudah diskusi dengan suami. Karena topik saya tentang privasi, di Indonesia, RUU PDP secara eksplisit menyebutkan bahwa rujukannya adalah Uni Eropa. Di Eropa, yang paling xxx adalah kampus A dan B. Nah untuk bidang individual saya dan suami, paling bagusnya di kampus TUDelft. Kenapa? Karena XYZ. Terlebih di kampus TUDelft, ada Lab XXX yang afiliasi dengan XXX. Ketua dari Lab tersebut rencananya akan saya propose menjadi spv”. Terus ditanya “kenapa bukan kampus B” (saya bisa jelasin meyakinkan karena kampus B itu almamater S2 saya hehe).

2. Kenapa saya perlu untuk S3

  • Alur cerita yang saya tekankan adalah: saya S3 bukan fokus untuk diri saya, tapi untuk Indonesia. Jadi segalanya bukan Syafira-sentris tapi Indonesia-sentris. Bukan Syafira-suka-apa tapi Indonesia-perlu-apa. Saya ceritakan: sejak sepuluh tahun terakhir, saya berkeliling sektor (lembaga legislatif, lembaga penelitian, berbagai lembaga ekskutif) untuk mencari: saya bisa paling bermanfaat bagi Indonesia saat berada di sektor mana. Dan selalu berusaha totalitas setiap berada di sektor manapun (sambil jelaskan impacts/achievements yang didapat). Lalu jelaskan kenapa berpindah sektor –> ini bagian paling tricky dan fokus pertanyaan pada saat wawancara saya. Saya dikejar oleh pewawancaranya kenapa resign PNS karena seolah kontradiktif dengan niat kebermanfaatan bagi Indonesia. Alhamdulillah saya memang paling menyiapkan rangkaian jawaban tentang ini, sehingga akhirnya pewawancara sepakat dengan alasan saya 🙂

3. Apakah saya bisa diterima DAN lulus S3.

  • Daya jual utama saya: (1) mempunyai dua gelar S2 yang saling melengkapi: IT dan social science, (2) pengalaman bekerja di berbagai sektor. Sehingga, sepertinya pewawancara meyakini saya minimal tidak tersisih di seleksi awal dari kampus dan cuma sekilas mengecek nilai bahasa Inggris (btw wawancara saya dengan psikolog 100% Bahasa Indonesia, dengan akademisi 100% English). Bahkan sebenernya beliau tidak menyinggung proposal riset saya sama sekali. Tapi berhubung saya sudah membuat usulan model (print satu lembar A4. plus eksplisitkan di situ: apa signifikansinya untuk Indonesia), saya minta waktu untuk mempresentasikannya (diberi lima menit). Komentar beliau cuma satu “ohyaya. Ini sudah pernah dipresentasikan di depan calon supervisor?”. Karena saat itu saya masih ditolak-tolak oleh banyak calon spv, saya bilang “sudah Pak, ke (sebut nama). Cuma beliau bilang kalau beliau tidak berminat ke arah X dan Y”.
  • Btw, tentang pencarian supervisor, saya menemukan inferensi ini:
    • Ditolak itu sangat wajar. Saya ditolak oleh 3 dari 7 calon spv dengan alasan utama: topik yang saya tawarkan tidak sesuai sama arah gerak riset mereka di masa depan. Padahal saya meng-approach para supervisor setelah membaca 5-25 paper + situs resmi/pribadi mereka untuk meyakini bahwa mereka mempunyai minat di bidang privasi dan artificial intelligence (AI). Tapi ternyata, “yang dulu mereka minati” belum tentu “di masa depan juga tetap minat”. Ada juga calon spv yang saya yakin banget beliau expert utama di “privasi by design” dan “AI”, tapi karena saya approach beliau dengan proposal tentang privasi+AI+Internet of Things (IoT), beliau menolak karena tidak berminat tentang IoT (kesimpulan: riset proposal jangan terlalu spesifik saat approach spv. Setelah itu, setiap saya mengajukan riset saya selalu cuma di “privasi” dan “AI”, dengan case-nya saya jelaskan bisa fleksibel. Setelah diskusi pertama dengan calon spv, barulah bikin proposal yang lebih spesifik).
    • Saya merasa jika kualifikasi yang selalu ditanyakan saat wawancara dengan calon spv adalah: (i) risetnya potensial? (ii) background keilmuan sesuai? (ii) orangnya ‘PhD material’? –> pengalaman menyikapi kegagalan (karena ya sepanjang S3 itu = bakal jadi kumpulan pengalaman gagal :p), critical thinking (ada temen cerita: dia saat interview S3 diajak sejam menelaah dan mencari celah atas paper), pengalaman publikasi. Kalau tentang keluarga, menurut saya bukan concern-nya spv. I mean.. beda dengan LPDP yang sering kali pewawancara menanyakan situasi keluarga (“suami gimana kalau ditinggal sekolah?”, “bisa konsen tidak kalau ada anak”), sepanjang semua wawancara spv, saya tidak pernah ditanya mengenai kondisi keluarga. Imho orang Eropa tidak kepo tentang hal seperti itu. Palingan sekilas lalu saja ditanyakannya.
    • Jangan cuma berpaku pada LPDP. Apalagi untuk jenjang S3 di Eropa, dengan sangat jujur saya bakal bilang kalau bisa dapat beasiswa lain seperti beasiswa EU atau funding dari kampus, mending beasiswa lain karena.. nominal yang didapet beda banget. Bisa dilihat di sini untuk gambaran income PhD employee-nya Belanda (semua kampus sama, jangan lupa minta keringanan pajak). Tapi kelebihan dari LPDP (berarti sebagai external funding PhD student): (i) jauh lebih fleksibel jam kerjanya, (ii) lebih mudah diwelcome oleh calon spv (karena ya mereka dapet ladang publikasi gratis kan hehe. Walau kalau kata spv-nya suami, menerima external PhD student itu juga tantangan tersendiri karena perlu memastikan kalau orangnya bisa lulus. Secara kalau anak bimbingan tidak lulus, si spv dan promotor yang akan mendapat penilaian buruk). Anw, saya menyiapkan jawaban ini jika saat wawancara LPDP ditanya tentang “kenapa memilih beasiswa LPDP?“, yakni actually, LPDP is not my only option. Because my love for Indonesia is rock solid, I will come back help the developments of Indonesia regardless LPDP gives me the funding or not. But I find it more challenging to get a PhD acceptance without bringing my own funding. Within ths year, I have tried to obtain EU scholarship and funding from the univesity, and got interviewed three times. But I only got shortlisted. The prospective supervisor told me that he was greatly interested in me but his limited funding forces him to choose only one, between me and other candidates. He asked me to try again in next opportunities, and from my discussion with other PhD students, the chance to get approved is higher if we bring our own funding.
  • Saya juga ditanya tentang kepastian kembali ke Indonesia. Saya jawab dengan pragmatis bahwa suami harus kembali ke Indonesia karena sudah dosen tetap di UI, sehingga ya kami pasti bakal kembali hehe. Ohya karena suami akan PhD tahun ke-3 saat saya mulai kuliah, saya ditanya juga tentang timeline keluarga kami –> tarikannya menurut saya: apakah kami keluarga ‘ingkar janji’ yang suami tidak kembali setelah lulus S3 demi menemani saya selesai kuliah. Sehingga saya jelaskan kalau suami bukan beasiswa dari LPDP (dia statusnya employee TUDelft) sehingga sebenarnya tidak ada kewajiban kembali ke Indonesia segera (kecuali kewajiban dari UI, tapi itu beda cerita).

Jadi, apa kesimpulannya? 🙂

  1. Siapkan sebaik mungkin. Telaah diri sendiri untuk tau kira-kira ‘celah’ diri kita di mana. Kayak saya, jelas banget calahnya adalah: (i) pernah resign PNS, (ii) belum ada cantolan institusi, (iii) suami sedang kuliah di univ yang sama sehingga akan disangka sekedar nyusul. Sehingga saya matangkan sekali jawaban untuk tiga pertanyaan itu. Daaannn tiga pertanyaan itu memang muncul menjadi fokus pertanyaan saat wawancara saya.
  2. Mundur sejenak untuk bisa maju. Setelah resign PNS dan jadi IRT, saya sadar kalau saya tidak punya daya jual ke pemberi beasiswa maupun kampus tujuan. Apakah lalu saya nerima begitu saja? Ya tidaaakkk. Kalau tidak ada jalan, ya bikin sendiri jalannya. Saya cari kesempatan ngajar (Alhamdulillah dapet di UI. Sebagai dosen ‘terbang’ ber-SKS minim, renumerasinya bahkan lebih kecil dari gaji perawat yang menjaga anak saat saya ngajar hahaha). Saya lalu tunda ikutan suami ke Belanda untuk ambil S2 lagi di Indonesia, dan push diri sendiri buat dapet IPK maksimal + publikasi, sambil merawat newborn posesif no-nanny no-ART. Kuliah sambil ngegendong nidurin anak, presentasi sambil nyusui anak, ngoding ngepaper sambil dikejar anak yang minta main; semua jadi memorable buat saya 🙂 Sekaligus jadi amunisi untuk meyakinkan para pihak kalau: saya tidak punya masalah untuk jadi PhD couple walaupun punya bayi, karena saat sendirian+anak masih kecil nan demanding-pun, Alhamdulillah bisa perform juga studi saya.
  3. Yakinkan LPDP kalau investasinya tepat guna, dan serahkan sisanya ke Allah. Yakinkan kalau: kita bisa lulus (yang tidak lulus S3 itu banyak bung) dan bisa bermanfaat. Karenaaa S3 LN itu mahal sekalii dibandingkan DN. Saya hitung-hitung, biaya S3 saya itu 120.000an Euro (sekitar Rp 2 Milyar); itu bahkan di luar family allowance, uang pesawat, uang publikasi, asuransi, dst. Bandingkan dengan S3 DN (contoh: UI) yang hitungan kasar saya, sekitar Rp 350jutaan. Walau nominalnya sudah tidak up-to-date, tapi laporan rencana LPDP 2013 juga bisa membantu membayangkan bahwa total empat tahun S3 di LN (sekitar Rp 4,1 Milyar) = hampir 9x lipat dari biaya empat tahun S3 di DN (Rp 472juta). Sehingga, saya rasa LPDP akan lebih perhitungan untuk meloloskan kandidat S3 LN. Kemarin banyak teman saya (pejuang S3 LN) yang belum rezeki padahal saya pikir mereka LPDP-material (ada yang S2-nya awardee LN, ada yang PNS senior, ada yang sudah dosen tetap, dengan hampir semua sudah mengantongi LoA Uncon). Saya tidak tau apa yang terjadi di wawancara mereka. Mungkin, mereka mendapat pewawancara yang jauh lebih kritis dibandingkan saya. Mungkin, ada masalah teknis dll. Mungkin, rezeki mereka di beasiswa yang lebih besar nilainya. Kalau sudah begini: serahkan sama Yang di Atas. Kerena rezeki tidak akan tertukar.
  4. Saya tau kalau saya ber-privilege. S2 DN masuk ke skema financial kami, suami berkenan menyesuaikan timeline keluarga agar saya bisa S3, dan ortu memungkinkan cuti untuk membantu menjaga anak setidaknya saat saya ujian/interview. Tapi, saya mengelilingi diri dengan lingkungan orang-orang hebat tanpa privilege finansial dan tau bahwa keadaan mereka (yang dengan segala cara akhirnya bisa ke posisi sekarang) menghasilkan individu yang lebih matang dibandingkan saya. Contoh terdekat? Ya si suami 😉 Dia dulu dari keluarga under-privilege. Dari kota kecil yang bahkan saya baru dengar namanya, tidak disupport ortu untuk kuliah ke Jakarta karena faktor biaya, dan saat akhirnya nekat daftar UI-pun hampir tidak meneruskan karena bahkan uang pangkal Rp 5 juta-pun tidak bisa mengusahakan. Hasilnya? Daya juang dan daya lentur luar biasa. Saya yakin, perjuangan di masa-masa terbawah mereka pasti sangat berat. Tapi, merujuk si suami dan teman-teman yang dari kondisi sejenis, it will be paid off insyaAllah — dan jauh lebih besar dibanding orang seperti saya dengan deltanya tidak sedrastis mereka.

Kalau ada yang butuh lihat esai saya (minus personal statement tapi hehe karena terlalu privat), bisa langsung sertakan alamat email di komen; insyaAllah saya kirimkan secepatnya. Berhubung bulan Maret – Juni 2022 saya akan lumayan lowong, kalau ada yang hendak mendaftar S3 LN dan butuh tambahan mata untuk review esai dan/atau mock interview, langsung DM saya di IG juga bisa. Gratis 🙂 Saya menerima bantuan berharga dari banyak orang di setiap langkah saya, jadi ijinkanlah saya meneruskan amal jariyah mereka walau sedikit.

Akhir kata, semangat kawan-kawan. Enjoy the process!

Standard

17 thoughts on “Beasiswa LPDP (Pengalaman S3 2021 vs S2 2015)

  1. Anonymous says:

    Fira.. Aku Ani, masih inget kah?
    Aku akhirnya dapet lpdp DN dan udah lulus tahun kemaren.. dan pengen lanjut tapi ngrasain yg Fira ceritain “belum punya daya jual”. Jadi sedang kontemplasi dan menyusun rencana ke depan ini. Pengen baca essai Fira. Ingin terinspirasi lagi kaya waktu itu.
    animalichatun@gmail.com
    Makasaih Fira.. Jadi amal jariyah Fira, insyaAllah

    Liked by 1 person

  2. Mbak firaa..perkenalkan sy Birrul, meski sesama awardee LPDP pas S2 dan sesama alumni Edinburgh di social sciences, sepertinya kita belum pernah bertemu krn sy baru kuliah 2018, tapi habis baca tulisan mbak fira jadi berasa dekat banget meski belum pernah bertemu langsung. Ku nangis banget habis membaca tulisan mbak fira. Sangat menyentuh banget dan pas banget momennya dengan apa yang saya alami saat ini. Habis lulus dari Edinburgh lalu sempat satu tahun kerja di kementrian, dan habis itu resign karena hamil. Pengen banget apply s3 tapi merasa tidak punya daya jual krn setelah resign kerja, full jadi IRT. Pengen banget baca essay mbak fira biar dapat inspirasi, semangat dan motivasi lagi untuk optimis apply beasiswa S3. Boleh banget jika mbak fira berkenan untuk diemail ke birrulqodriyyah@yahoo.co.id ..Terimakasih banyak mbak fira..semoga menjadi amal jariyah mbak fira..

    Like

    • MasyaAllah kisah kita mirip ya Mbak rasanya :”) Email udah kukirim Mbak, semoga bisa bermanfaat ya. Aku juga dapet pesan khusus dari suami “ini jangan lupa Birrul diperhatiin, dia orang potensinya hebat”. Jadi kabar2i aja Mbak kalau ada yang bisa kubantu lagi siapa tau bisa relate juga

      Like

  3. Kunti Khoirunnisaa says:

    Hai mbak fira, senang sekali bisa kenal mba fira, btw kita dah mutualan di instagram. Kebetulan aq dulu pernah daftar LPDP untuk S2 di UGM. Daftar LPDP dengan tanpa persiapan, essay seadanya. Setelah baca blog mba fira ya ampun ternyata yang dinamakan strategi itu yang seperti ini ya mba. Luar biasa.
    Mba cita2ku juga sama ingin menjadi dosen di ugm, entah kenapa dunia perkantoran tidak menyenangkan di mataku. Aq pernah mengajar 3 semester di Sekolah Vokasi UGM. Dari situ aq mengukur diri aq ternyata aq senang dengan profesi ini meskipun capek banget nyiapin materi, ngajar, evaluasi, bikin tugas, koreksi, dll. Tapi kebahagiaannya itu loh ketemu anak2 mahasiswa yang semangat masih maba bikin kita jadi semangat juga.
    Meskipun begitu aq masih merasa daya jualku kurang mba. Belum ada publikasi dan branding wkwkwk.
    Aq pengen belajar mba brandingnya gimana. Kalo untuk publikasi masih bisa kukejar di masa study aq skarang.
    Btw alhamdulillah aq dah masuk di Magister Teknologi Informasi UGM dengan beasiswa Kominfo.
    Rencana S3 ada tapi mungkin 5 tahun lagi setelah mengajar beberapa tahun insyaAlloh. Jika berkenan aq pengen tau banget (penasaran) sama essay s3 mba fira. Thank you so much 🙏

    Like

  4. Anonymous says:

    Mba Fira, sangat menginspirasi sekali tulisannya. Saya sebenarnya sudah hilang motivasi untuk lanjut S3, tapi setelah membaca tulisan mba, ketidakmungkinan itu seperti hanya sebuah fantasi. Terima kasih atas motivasi dan inspirasinya untuk kita semua pejuang pendidikan setinggi-tingginya. Berikut email saya mba, boleh minta contoh esainya ya mba. Terima kasih. belajarbahasa06@gmail.com

    Like

  5. Denny says:

    wah ketemu teman lama ga sengaja malah disini 😃 syafira apa kabar? Ini denny Glasgow class of 2016. Lagi iseng nyari2 PostDoct malah muncul blog ini 😃.

    Like

Leave a comment