Makanan Jepang selalu menjadi makanan favorit saya. Sedangkan, saya berlandaskan “by default, makanan Jepang itu tidak halal”. Sehingga, makanan Jepang halal & enak adalah perpaduan yang saya selalu habiskan waktu lumayan untuk menelusurinya. Berdasar pengalaman saya solo trip (read: conference) pada tahun 2023, baby moon 2009, maupun bermukim 1995-2000; dan juga suami undergrad exchange 2012-2013; yang semua di Tokyo, berikut daftar makanan halal yang sudah saya icipi selama di Tokyo. Semoga bermanfaat.
Bintang 5/5:
Soba, Sojibo Diversity, Odaiba
Lumayan effort buat ke sini, tapi totally worttthh it! Soba terenak yang pernah saya makan. Ocha-nya juga enak, sehingga kami beli beberapa ocha bubuknya sebagai oleh-oleh. Satu area dengan ‘robot’ gundam raksasa.
Japanese Hamburger, Kiwamiwa, Shibuya
Ngantri-nya satu jam sambil berdiri, tapi saya sampai 2-3x ke sini saking enaknya. Setiap pemesanan halal menu, chef-nya bakal ngeganti sarung tangan, utensil dkk untuk mencegah cross contamination.
Japanese Curry, Halal Coco Ichibana, Akihabara
Coco Ochibana itu by default tidak halal. Sehingga, perlu cari outlet yang halal (warna hijau). Sepertinya yang outlet Akihabara sudah tutup, sehingga cek ya lokasi terbarunya.
Bintang 4.5/5:
Tempura, Tendon Itsuki, Ginza
Lokasinya di dalam kompleks mini-mall yang agak jemilet (jadi tanyakan saja ke petugas). Agak ngantri saat jam padat, tapi enak!
Bintang 4/5:
Yakiniku, Gyumon, Shibuya
Dulu, hotal saya beberapa menit jalan dari Gyumon sehingga hampir setiap hari ke sini. Saladnya enak bgt. Kalau dagingnya: yakiniku di Indonesia banyak yang lebih enak. Tapi, masih ok ok aja untuk membuat kenyang.
Ramen, Halal Honolu, Shibuya
Effort. Karena perjalannya lumayan naik turun . Menurut saya, rasanya kurang istimewa walaupun tidak negatif juga. Mirip dengan ramen-ramen di Indonesia.
Sushi, Sushi Ken, Asakusa
Saya pesen lumayan banyak sebenarnya. Dari semuanya: jujur saya ga merasakan signifikansinya dibandingkan bahkan Sushi Tei.
Bintang 3/5:
Ramen, (Lupa), Asakusa
Di deretan toko setelah kuil Asakusa. Service-nya bagus sebenarnya, sangat ramah dan welcoming. Tapi, dari segi rasa kurang. Baik ramen maupun gyoza-nya lebih enak yang di Indonesia.
Sedangkan, untuk omiyage (survenir), snack-snack Jepang sebenarnya sangat populer. Tapi, titik kritisnya buanyak sekali. Contoh: Tokyo Banana itu tidak halal karena ada gelatin hewan dan/atau alkohol, kecuali satu varian (yang kurang menarik menurut saya). Kitkat Jepang bahkan mendapat label ‘haram level 2’ dari aplikasi “Halal Japan“. Aplikasi ini sangat berguna sebagai patokan btw. Sehingga beli akses premium berjangka (sesuai durasi saya di Jepang) sangat worth it; cuma 20 ribuan rupiah seingat saya waktu itu.
Sehingga, snack yang saya beli adalah:
Pocky! Halal level 2 via aplikasi Halal Japan. Beli grosir di Mega Donki Shibuya.
Senbei yang merk Amanoya Kabukiage. Halal level 3. Di convenience store banyak, tapi saya beli grosir di Mega Donki Shibuya.
Snack label halal di toko paling depan deretan toko kuil Asakusa. Snack tradisional Jepang gitu. Tapi… rasanya kurang cocok di lidah saya. Jadi saya tidak menyarankan beli banyak.
Di 2019, saya beli Senbei enak bgt, label halal, di deretan toko kuil Asakusa. Tapi, waktu 2023 saya ke sana lagi sudah ga bisa nemu. Sudah keliling 10x kayaknya di area situ, dan ga nemu lagi.
Kitkat: Haram Level 2
Pocky: Halal Level 2
Senbei Amanoya Kabukiage: Halal Level 3
Senbei Asakusa: Label Halal
Be note bahwa sopan santun dan norma masyarakat sangat dijunjung di Jepang. Sayapun ga selalu yakin dengan norma yang berlaku karena sudah bukan penduduk tetap. Sehingga, kalau saya ke Jepang lagi insyaAllah, saya bakal main aman. Contoh: Tendon Itsuki (Tempura) sepertinya ga akan cocok untuk membawa bayi < 3 tahun karena kursinya tinggi dan cuma tersedia belasan kursi di dalam toko. Kalau saya mau bawa anak ke sana, saya akan ganti-gantian aja masuk ke restonya dengan suami agar anak bayi tidak perlu dibawa masuk. Kalau gyumon, karena sistemnya tatami dan ruangannya sekat-sekat, jelas cocok untuk bawa bayi asalkan tidak heboh gerak (bahaya api). Apakah makanan sisa (kalau si bocah makannya lama sedangkan antrian di belakang sudah panjang) boleh dibawa pulang atau tidak, juga perlu dipastikan.
Postingan ini insyaAllah akan selalu saya update setiap kali saya ke Jepang. List incaran saya ini sekarang:
Di auturm break ini, kami akhirnya ke Swiss. Seperti mayoritas first-timer yang ke Swiss, kami ke daerah Jungfrau yang menawarkan kombinasi experience cukup berbeda dibanding wilayah Eropa lain. Dalam satu area, Jungfrau menawarkan salju, pegunungan, danau, air terjun, paralayang, hingga ski. Tidak semuanya kami bisa coba karena bersama si bocah 5 tahun, sehingga, semoga catatan ini bisa bermanfaat untuk para young parents!
Total expense kami selama lima hari adalah 1900an euro. Komponen transportasi NL-Swiss-NL sangat murah sejujurnya (370an euro untuk tiga orang PP); yang kami sesali haha. Kalau diibaratkan, kursi kami setara kereta ekonomi di Indonesia yang kursinya keras dan tegak 90 derajat. Untungnya kami sudah reservasi kursi (nambah 16 euro bertiga). Kalau tidak reservasi kursi, sepanjang perjalanan bakal diusir-usir dari satu tempat ke tempat lain yang lowong, bahkan di tengah malem. Saya ga expect kursinya sepertinya ini sebenarnya, tapi saat mau upgrade ke kelas lain sudah telat jadi yasudah 10 jam-an perjalanan tahan-tahanin (btw, perjalanan lebih lambat 30-70 menit dari yang dijanjikan). Saya sarankan pilih weekday (Selasa/Rabu). Tapi ya tetep… kalau bisa ngulang waktu, kami bakal milih yang gerbong sleeper demi kenyamanan.
Saya sangat merekomendasikan pembelian Jungfrau Pass dan ke Jungfraujoch. Jungfrau Pass adalah kertas sakti yang bisa membawa kita gratis keliling Jungfrau menggunakan hampir semua alat transportasinya, termasuk: tur boat 1.5 jam, gondola (cable car), dan kereta. Sedangkan, bus lokal akan gratis dengan menunjukkan kartu turis yang biasanya diberi oleh hotel/penginapan setelah kita membayar pajak kota saat kedatangan. Beware untuk waktu validitasnya. Di 2024 ini, Jungfrau (Summer) Pass cuma hingga 27 Oktober. Setelah itu adalah masanya untuk Jungfrau (Winter) Pass yang jauh lebih mahal. Sedangkan, Jungfraujoch adalah puncak tertinggi Eropa yang terjangkau alat transportasi. Di sana jaminan salju. Jungfraujoch ini tidak termasuk ke Jungfrau Pass, sehingga perlu bayar tambahan (63 CHF perorang). Menurut saya worth it sih. Awalnya kami juga berniat upgrade ke tiket yang reservasi (+30 CHF bertiga), tapi petugas tiketnya justru bilang tidak perlu, karena bukan summer yang peak season. Notenya juga: tanya dulu ke layanan tiket/informasi hari apa yang terbaik untuk ke sana. Kalau kami, memang mencari salju; sehingga sengaja ke sana saat salju turun. Tapi, kalau mencarinya langit biru yang kontras dengan pemandangan es, mending pastikan cuacanya sedang cerah tanpa salju.
Itinerary kami adalah seperti ini:
Hari 0-1: Berangkat dari Utrech ke Basel SBB. Berkaca dari pengalaman teman, bakal hectic kalau beli connecting train karena perlu buru-buru ngejar kereta selanjutnya dalam 13 menit. Jadi kami beli kereta terpisah dari Basel SBB ke Interlaken Ost yang satu jam setelah kereta dari Utrech seharusnya tiba. Eh, ternyata, keretanya terlambat bgt sampai. Sudah mengiklaskan perlu beli tiket lagi, saya iseng nanya ke petugas, ternyata tiket kami masih bisa dipakai untuk kereta selanjutnya, jam berapapun. Lalu, kami tiba di Intelaken Ost. Ambil cash di bank beberapa langkah dari stasiun. Lalu menuju penginapan. Secara ada bocil, saat jalan-jalan di Eropa, kami selalu sengaja pilih penginapan yang the whole apartment sehingga ada dapur (dan mesin cuci+pengering) untuk menjaga asupan protein dan sayur. Btw, penginapan kami walking distace dengan Interlaken Ost maupun West, dan menurut kami ini pilihan yang tepat. Karena, atraksi yang tercover Jungfrau Pass akan mulainya dari Interlaken Ost. Sedangkan, Interlaken West lebih area lengkapnya (restoran/toko halal, lapangan landingnya paralayang, dkk). Hari pertama ini kami cuma ke satu lokasi, yakni Harder Kulm (furnicular), kerena setelah itu belanja dan masak protein sayur simple (menu simpel: udang-telur-brokoli rebus dan kentang-udang-pizza oven) untuk makan dan bekal beberapa hari ke depan.
Hari 2: berhubung cuaca di puncak lagi salju kecil (lihat webcamenya di sini) dan kami memang mencari salju, kami memutuskan ke puncaknya di hari ini. Jalur: Interlaken Ost – (kereta) Grinderwald Terminal – (gondola) Jungfraujoch. Di Jungfraujoch, kami menghabiskan sekitar 4 jam untuk keliling-keliling. Setelah itu, kami turun tapi via jalur yang berbeda karena mau ke Lauterbrunnen (yang ada air terjunnya). Kami naik hingga puncak terdekat ke air terjun, yang ternyata achievable untuk si bocah. Setelah itu pulang ke penginapan.
Hari 3: si bocah pengin naik kapal. Sehingga, kami berangkat pagi biar bisa ke Grinderward dulu (First Cliff Walk. Kalau mau juga bisa naik atraksi-atraksinya), lalu naik boat ke Brienz (kotanya ya normal, ga sebreathtaking komentar orang), lalu kereta ke Interlaken Ost untuk ke penginapan. Menurut saya, semua tempat populer sudah terjelajahi jadi yasudah istirahat saja di Interlaken makan-makan.
To sum up, Swiss (Jungfrau) itu salah satu bucket list yang memang perlu didatangi at least sekali seumur hidup. Apalagi kalau memang hobi hiking, pegunungan Swiss itu aman dan nyaman untuk mendaki. Tapi, sejujurnya, kalau ada kesempatan memilih tempat jalan-jalan lain, saya lebih bakal memilih countryside Jepang maupun Lombok. Karena… sceneries Jungfrau itu menurut saya mirip countryside Jepang. Ski juga bisa dilakukan di Jepang. Atraksi yang di Jungfrau (paralayang, kano, griding, etc) itu ada di Bali/Lombok. Terutama: makanan di Jepang dan Lombok (yang halal) jauh lebih enak haha. Tapi ya tetep, dijalani at least sekali tetap menyenangkan kok Jungfrau itu.
Saya agak maju mundur sebenernya buat nulis ini, soalnya sejujurnya saya lebih suka share kalau udah menyelesaikan hajadnya (sudah menyelesaikan hajinya). Tapi, setelah saya pertimbangin agak lama, insyaAllah semoga ada manfaat yang bisa diambil dari sini. Bismillahirrahmanirrahim.
Jadi, Alhamdulillah, kami baru mendaftarkan diri kami (suami dan saya) untuk haji dari Indonesia. Ada beberapa kontemplasi kami:
Kenapa tidak haji dari Belanda saja, kan lebih cepet? Kan anak bisa dihandle sama sitter / dikirim ke Indonesia untuk dihandle kakek neneknya? Kami tidak merasa opsi itu pas untuk anak kami saat ini. Dia ada sekolah nyaman di Belanda, tapi kami merasa dia masih terlalu kecil untuk ditinggal dengan sitter tanpa sanak saudara di LN. Terlebih, berhubung kami memang berniat balik ke Indonesia dalam beberapa tahun mendatang, ya kami menunggu anak (-anak) agak besar dulu dan posisi sekolah semua anak di Indonesia. Tapi, kalau memang situasi memungkinakn untuk haji dari LN, lakukan aja! Testimoni temen-temen saya yang haji dari LN itu positif kok, seperti faktor sociocultural (katanyaaa petugas di Arab lebih respect begitu ngelihat nametag mereka adalah rombongan haji dari Eropa haha. Entah ya itu fakta atau perasaan subjektif orang yang cerita ke saya atau fakta) hingga ke faktor durasi yang lebih singkat.
Tapi, regardless berapapun usia anak dan apapun kondisi tersier kita, mendaftar haji itu wajib bagi yang mampu. Hemat saya, begitu kami mampu liburan (atau bisa bayar sekolah anak), ya berarti itu mampu buat daftar haji; karena wong biayanya mahalan ke UK/bayar sekolah daripada daftar haji reguler. Kami malu sama Allah kalau bisa liburan, atau menunaikan pembelian duniawi lain, tapi belum daftar haji. Dan buat daftar haji, menurut saya, ga perluuu nunggu sampai merasa hati tergugah atau merasa getaran hati terpanggil dll. Karena saya jujur nggak merasakan apapun getaran-getaran tersebut hingga saat ini. Tapi, saya cuma sebatas menggunakan logika dan pemahaman sederhana aja: kalau Islam, bisa keluar duit buat yang lain-lain, yaudah wajib daftar haji. Sesimpel itu 🙂
Kami daftar haji reguler dari kota KTP kami: Sragen. Padahal rumah kami di Depok haha, tapi ya berhubung kami belum sempat urus perpindahan KTP ke Depok, yasudah daftar ajalah via Sragen yang lebih cepat. “Apa ga repot itu Fir, buat manasik haji dll-nya?”.
Pindah domisil haji itu memungkinkan. Tadi saya tanyain ke petugas haji di kantor Layanan Haji dan Umroh Terpadu Sragen. Prosedurnya adalah: begitu sudah dipanggil haji di domisil pendaftaran, kita bisa pindah untuk kontingen keberangkatan. Jadi, kami tadi kan daftar di Sragen yang antriannya adalah 32 tahun. Jadi, misal kami dipanggil gilirannya pada (anggeplah kalau tidak ada perubahan) 32 tahun lagi, barulah pas itu kami bisa mengajukan perpindahan ke lokasi lain. Sebenernya sih, kalau kami di Indonesia, lebih enak buat pindah domisil sekalian sih ke Depok baru daftar haji; toh insyaAllah long term kami bakal tinggal di sana. Tapi, karena situasi kondisi, dan memang motivasi daftar haji ini adalah “yang penting gugurin kewajiban” dulu, yasudahlah. Biar kalau kami Qadarallah meninggal besok, insyaAllah kami meninggal dengan niat menggenapkan rukun Islam kelima.
Dan terutama…. Bismillah semoga bisa menjadi pertimbangan para pembaca yang mempunyai pemikiran sama: kami mendaftar haji reguler dengan intensi untuk meng-cancelnya saat kami insyaAllah terkumpul budget untuk Haji Plus. Preferensi kami adalah Haji Plus (dari waktu tunggu, kenyamanan, dll), namun saat ini alokasi budget belum memungkinkan untuk itu. Tapi, perintah Allah itu daftar haji; ga ada perintah buat daftar Haji ONH Plus atau Furoda atau reguler. Siapa yang bisa jamin kami nggak meninggal duluan sebelum bisa kekumpul budget buat mendaftar Haji Plus/Furoda? Jadi, daftar aja haji apapun yang bisa kita daftar duluan.
Berhubung kami (read: saya) concern terhadap transisi dari Haji Reguler ke Haji ONH Plus, inilah yang saya rangkum dari petugas di kantor tersebut:
Kantor Layanan Haji dan Umroh Terpadu, at least di Sragen, tidak melayani pendaftaran selain haji reguler. Jadi, informasi ini mungkin tidak lengkap soalnya mereka nggak tau. Yang tau lengkapnya adalah Biro Haji yang bisa menerima pendaftaran haji selain reguler. (seperti dijelaskan di sini).
Jika kita meng-cancel pendaftaran haji reguler kita, semua biaya pendaftaran haji reguler (yang 25 juta/orang itu, di tahun 2023 ini) akan kembali full. Entah ada biaya administrasi bank atau tidak, yang pasti sekitar segituan yang bakal balik.
Saat kita tidak jadi menunaikan haji reguler yang sudah kita daftarkan, nomor antrian kita BISA dilimpahkan ke kerabat dekat (spouse, ortu, anak, saudara kandung) asalkan…. alasannya karena meninggal dunia atau sakit permanen. Kalau alasannya adalah karena berubah ke haji jalur lain (ONH Plus/Furoda), antrian TIDAK bisa dilimpahkan. Jadi, kalau kita mau pindah jalur, ya cancel si pendaftaran haji reguler kita. Terus uangnya balik. Kalau uangnya mau diapai buat daftarin anak untuk haji, ya mereka perlu antrian lagi dari awal.
Alhamdulillah, beberapa waktu lalu, saya diberi kesempatan untuk berumroh bersama suami dan anak empat tahun. Agenda utama sebenernya adalah ke Indonesia untuk menyelesaikan lumayan banyak urusan. Dan berhubung Saudi Airline memberikan peluang umroh saat transit di Jeddah, ya why not? 🙂
Saudi Airline. Saya dan beberapa teman Belanda punya lumayan kisah ga enak sebenernya sama maskapai ini: dulu websitenya masyaAllah bikin emosi keterlaluan (UI, UX, bahkan loading time-nya), ada yang visa ga dikirim, ada yang call center buntu, ada yang pembayaran gagal, etc. Ada teman, di Desember kemarin, akhirnya ga jadi umroh via Saudi Airline karena nyoba bayar puluhan kali gagal terus; dan saking emang (saat itu) ngeselin websitenya, dia seniat itu buat bikin Google Review semacam ‘kalau bukan buat umroh, ga akan gw pake ini maskapai’ :)))) Tapi, saat kami pesen beberapa waktu setelah itu, surprisingly websitenya jadi mendingan banget! Saking bedanya, sampai suami kirim apresiasi comment ke developernya haha. Tapi, tantangan umroh kami ternyata dalam bentuk lain:
Pemeriksaan carry-on luggage. Seumur hidup kami naik persawat, baru kali ini kabin ditimbang beneran. Berhubung kami ga persiapan (dan koper kabin melebihi 7kg), kami perlu bongkar koper di counter. Ini sebenernya kayaknya cobaan, soalnya petugas counter yang lain ga ada yang segininya. Tapi, better safe than sorry jadi sejak itu kami selalu pastiin buat ada Plan B begitu tas kabin >7kg.
Pemeriksaan akhir di Saudi. Ini juga pengalaman langka. Biasanya kan yang ketat itu pemeriksaan di bandara keberangkatan. Eh, kemarin justru pas di gate terakhiiir bgt pemeriksaan di Saudi, kami luama bgt. Kayaknya, petugasnya ga ngerti tentang status visa kami. Ini kayaknya aja, soalnya kami ga ngerti apa masalahnya secara…. petugasnya ga bisa bahasa Inggris. Dia justru sepatah-patah ngomong bahasa Indonesia, yang bikin kami tambah bingung hahaha. Kami cuma nebak aja masalahnya di visa, soalnya pas dia manggil bosnya, bosnya jelasin pake bahasa Arab (yang kami juga ga paham) dengan gesture tangan semacam ’empat, Saudi Airline bisa transit empat hari’. Setelah dibolehin lewat, kami nanya dulu sebenernya ‘so, what was the problem?’. Dia cuma kibas tangan aja (iya, emang ngeselin). Kami landing jam 11an malem, baru jam 1-2 pagi kami bisa keluar dari bandara. Btw, keuntungan utama dari umroh via Saudi Airline ini, selain dari pemberian visa transit buat umroh, adalah dapet 1 malam hotel gratis sebenernya. Tapi, kami nggak ambil hotel itu karena hotel yang ditawarkan ke kami via website cuma dua dan jauh banget dari Masjidil Haram (lebih deket ke bandara bahkan).
Bersama Balita. Ini lumayan FAQ: umroh sama balita, emang ga repot Fir? Hmmm, berhubung kami umroh dengan santai (toh ini pengalaman pertama buat kami semua, jadi memang buat experiencing dulu), jadi kerasa woles. Si bocah ga pake popok (kebelet pipis dia ngomong, dan tinggal pipis di WC umum samping mesjid). Dia tawwaf digendong (iyalah, kalau enggak ya bisa kegencet) di area normal. Doi sai jalan-lari sendiri sebelum mimisan hehe, setelah itu baru digendong di dua putaran akhir. Capek ya duduk dulu. Kalau sudah terlalu lelah, kami juga sebenernya ada plan tawwaf sai dengan scooter listrik yang bisa disewa di sini hehe. Sholat ya doi sholat biasa aja di samping ayahnya. Makan juga biasa, di manapun ada resto berayam/seafood, toh pasti makanan halal di sini. Ohya, notenya: kami pakai jasa pendamping umroh (muthawif). Jadi, kami santai karena beliau mengerti area.
Muthawif / Pendamping. Pendamping kami orang Indonesia. Punya anak usia mirip usia anak kami. Sehingga ya beliau maklum dan tau pace anak kecil. Totally recommended, DM saja kalau mau kontaknya 🙂 Beliau mahasiswa S2 S3 di Mekkah. Beliau juga pernah umroh dengan scooter listrik pas istrinya di setengah jalan cedera, jadi bisa jadi referensi pas bagi para umrohers berpace rendah kayak kami hehe. Sebelum berangkat, bakal ada sesi 1 jam-an buat zoom meeting pengarahan dan diskusi (penting, buat first timer kayak kami).
Total biaya kami adalah sebagai berikut:
Pesawat. Harga tiket akan tergantung dengan berapa lama berniat transitnya. Misal tidak berniat transit lama, harga tiket akan paling murah di kelasnya. Kami memilih transit tiga hari (layover sekitar 61 jam) dan tiket PP Belanda – Jeddah – Indonesia kami adalah 2.253 Euro. Harga tiket paling murah untuk tanggal kami via Saudia, jika durasi transit tercepat (sekiar 7 jam, yang berarti tidak memungkinkan untuk umroh) adalah sekitar 150 Euro lebih murah untuk perorang.
Visa. 23 Euro x 3 orang (sedia softcopy pasfoto background putih. Bisa foto sendiri aja pake kamera HP bersandarkan dinding, terus edit background dan size)
Makanan. Sekitar 200 Euro untuk 3 hari, 3 orang.
Souvenir. Sekitar 100 Euro (coklat aja untuk ramai-ramai. Beli di supermarket Clock Tower, lantai paling atas).
Hotel. 266 Euro (untuk 2 malam). Hibatullah Hotel. Avoid. Kami pilih hotel ini karena mikir walking distance karena review orang-orang “10 menit jalan”. Tapi ternyata, kami baru tahu kalau jalanan di sini serem buat bersama balita (padahal sudah nebeng potong jalan via aksesnya hotel Anjum). Kalau bersama anak, mending nabung biar bisa yang beneran seberang Masjidil Haram. Naik taksi buat balik ke hotel inipun muter-muter, soalnya banyak jalan sekitar lagi ditutup.
Transportasi. Kalau taksi omprengan (yang nyegat di pinggir jalan), kami dibantu muthawif untuk komunikasi dan nawar. Kalau tanpa muthawif, kami pesennya Uber biar anti repot. Kami juga ga ke mana-mana pas umroh ini sebenernya; ke Madinnah-pun enggak soalnya waktunya mepet. Keliling kotapun enggan soalnya capek hehe, jadi ya cuma antara hotel dan Masjidil Haram (dan sekitar masjid). Sehingga pengeluaran transportasi kami minim: total 150an Euro (pick up point Uber di Bandara Jeddah adalah di lantai dasar (samping tempat taksi. Resmi, ada palangnya. Keluar pintu, belok kanan)).
Muthawif. 250 SAR = 60an Euro.
Cukur @ salon bawah Clock Tower. 20 SAR = 5 Euro.
Coba hitung: enggak sampai 1.500 Euro total pengeluaran kami untuk umroh bertiga. Jauh lebih mahal liburan ke UK atau Swiss hehe. Anw, pembayaran di toko cuma bisa pakai SAR. Tapi, kami ga bawa SAR sepeserpun sebelum di Jeddah dan aman kok. Kami ngambil SAR pertama kali di ATM Bandara Jeddah.
Anw lagi, tentang ihram. Suami make kain ihram sejak di bandara Schipol. Dia ganti baju di kamar mandi depan Gate G7 yang sepi dan bersih (flight kami dari gate G3). Si bocah pake ihram pas di hotel mau berangkat ke Masjidil Haram aja; soalnya ya dia bacaan rukun umroh aja pasti belom bener haha jadi umroh kali ini wisata religi aja buat dia, tanpa mengharap sahnya umroh dia. Ini hasil diskusi kami dengan muthawif sebenernya, soalnya kan kami concern kalau anak kedinginan make ihram selama di pesawat (begitu udah memasuki miqot, kan kalau beneran berniat umroh, maka cowo udah gaboleh make baju, jaket, maupun selimut). Kalau suami, dia berihram di Schipol tapi masih pake daleman dll; baru lepas-lepas pas mendekati miqot. Miqotnya 30an menit sebelum landing di Jeddah (wajib miqot di situ kalau penerbangan dari Eropa. Kalau mau umroh selanjutnya, baru bisa naik taksi ke miqot yang terdekat dengan hotel). Saudi Airline bakal hidupin lampu pesawat dan pengumuman buat siap-siap satu jam sebelum landing. Plus ada pengumuman juga pas udah di miqot.
Inggris adalah salah satu benang merah saya dan suami: saya setahun di Edinburgh, suami setahun di London. Sehingga di 2023 ini, kami memutuskan untuk mengunjungi London dan Edinburgh selama masing-masing satu minggu. Walau kami familiar dengan kedua kota ini, tapi ternyata lumayan banyak hal yang berubah; baik karena memang kotanya sudah berubah dan kami juga sudah berubah dari dulu lajang saat di kota itu dengan sekarang membawa buntut. Sehingga, semoga tulisan ini bermanfaat buat, khususnya, para young-parents yang lagi menyiapkan trip ke Inggris. Enjoy!
To sum up, total expense kami (ini kan yang paling dicari? :p) adalah 2.600an Euro di London dan 1.700an Euro di Edinburgh. Dibandingin kalau liburan ke negara Eropa daratan lain: komponen visa mahal, tapi komponen transpotasi sangat worth it. Berikut rinciannya.
1. Visa Visa ke UK itu aslinya ga terlalu mahal; 100an EUR per orang (note: sekarang harga naik). Tapiii yang bikin mahal itu jasa layanan dari kantor perwakilan di Belandanya -___- Ada dua kantor perwakilan UK di Belanda: Amsterdam dan Den Haag. Kalau mau via kantor Amsterdam, per-orang +75an Euro; via kantor Den Haag, per-orang +250 Euro. Yasudah kami pilih Amsterdam karena jauh lebih affordable. Laluuu kami baru tau kalau layanan non-premium, opsinya slotnya terbatas di weekday. Sehingga, karena jadwal kerja suami ga fleksibel, suami ambil layanan premium (yang bisa weekend, +70Eur) & dikirim ke rumah (+33 Eur). Sedangkan saya dan si bocah layanan biasa aja. Anw hati-hati pas ngeklik layanna premium; ga bisa dicancel (saat itu) haha. Lesson learnt: book slot jauuuuh hari. Biar bisa dapet slot weekday yang sesuai preferensi jadwal kita.
2. Transportasi: London
Kalau ada pilihan kereta vs pesawat, saya 100% bakal pilih kereta. Karena, pengalaman bulan lalu ke Tokyo via bandara, wah bandara Schipol hebohhh bener; padahal pas itu belom masa liburan dan saya solo trip tanpa si bocah. Sehingga, yang ke London ini kami memutuskan book tiket kereta. Rute kami Rotterdam ke London. Pas berangkat, rutenya Rotterdam ke Brussel (1 jam) lalu dari Brussel ke London (1 jam). Pemeriksaan imigrasinya di Brussel. Pulangnya direct dari London ke Rotterdam (3 jam 28 menit). Pemeriksaan imigrasi tentu di London (King’s Cross). Kasih spare 1.5 jam sebelum jadwal keberangkatan biar pemeriksaan imigrasi bisa tenang. Jangan lupa udah beli makan berat di kereta: walking distance dari King’s Cross ada waffel enak (@ Black Sheep Coffee) dan KFC halal (take away only). Btw, kami juga nitipin koper di seberang King’s Cross: £ 5 perkoper perhari (mau cuma nitip satu jam maupun 23 jam sama aja harganya).
Transport di dalam London itu murah banget dibandingin Belanda. Kami make Oyster card buat turis, yang ada cap (batas atas) hariannya. Cap-nya ini perzona. Itungan kasarnya buat kami yang di zona 3/4: perhari kami MAKSIMAL bakal ditarik 8.6 Euro perorang. Mau pemakaian kami riilnya seratus atau seribu Euro (siapa tauu) karena bolak balik naik tube kayak setrikaan, does not matter. Pokoknya ditariknya max 8.6 Euro perorang. Ga ada batas jam (peak hours maupun off peak). Buat semua moda transportasi (kereta, tube, bus, apapun). Real deal banget sih ini. Kartu kami beli online dan kami minta kirim ke alamat di Belanda (bisa juga diambil di stasiun UK sebenernya). Btw, buat anak gratis, ga perlu bikin kartu juga.
Visit London = ya kudu sekalian ke Cambridge dan/atau Oxford. Karena keterbatasan energi, kami memutuskan cuma satu aja yaitu ke Cambridge. Ongkos kereta PP London – Cambridge – London adalah… 26 GBP. Iya, itu buat tiga orang! & ternyataa, walaupun kita misal bookingnya buat jam 10 pagi, bisa juga (kami udah nanya petugas) buat masuk ke kereta yang jam berapapun. Pokoknya asal masih di hari yang sama. Salah satu atraksi utama Cambridge adalah punting. Tapi saya udah pernah punting jadi kami skip ini. Tips saya untuk punting ini adalah: tawar harga dengan signifikan! Dulu (lima tahunan lalu), saya bisa dapet harga 10 GBP perorang buat punting ini dengan nawar sadis dan jual mahal. Harga sekarang tentu udah lebih mahal. Tapi kalau kalau orang, masih bisa dapet 25 GBP. Kata temen suami yang S2 S3 di Cambridge (yang kami temui pas ke sana), sebenernya tamu dari anak beberapa fakultas di Cambridge juga bisa minjem punting gratisnya fakultas tsb. Jadi cek-cek aja network kita.
3. Transportasi: Scotland
Dulu, saya hampir selalu jalan kaki pas di Edinburgh. Jadi saya ga familiar dengan bus/tram di sana. Tapi karena ada si bocah yang ikutan (kami ga pake stroller apapun, jadi si bocah 4 tahun ini kami ajak jalan pake kakinya haha), jadi tentu bus adalah penyelamat. Kalau di Glasgow, tiket bus yang one day berlaku buat satu jalur aja (jadi misalnya beli tiket one day buat bus jalur 9/9A, ya cuma bisa dipake di bus jalur itu. Harga 3.9 GBP perhari). Tapi ternyata di Edinburgh, tiket bus one day berlaku buat bus manapun untuk operator itu. Harganya 5.4 GBP perhari. Btw di bus Glasgow maupun Edin (maupun kereta antarkedua kota tsb), anak di bawah lima tahun gratis. Tiket kereta PP Edin-Glasgow harganya 14an GBP per-orang, yang di saat ini bisa dipakai di jam berapapun dari stasiun manapun. Di Glasgow, ada bus gratis yang menghubungkan stasiun Glasgow Central dan Glasgow Queenstreet asalkan kita udah beli tiket kereta.
3. Hotel London: dengan transportasinya murah, kami ga ada kekhawatiran buat nyari akomodasi di manapun yang deket underground, asalkan masih max zona 4. Tapi, kami salah perhitungan: karena pergantian plan, kami perlu pesen dua hotel yang berbeda. & itu repot ternyata dengan ngebawa si bocah. Terlebih lagi, hotel yang pertama adalah hotel budget yang sempiit bener. Gerak dikit udah nabrak sesama kami. Bayangin aja ada toddler, cowo, di kamar kayak gitu. Bawaannya emosi haha. Baru, di hotel selanjutnya baru pilihan yang tepat. Kami sangat saranin akomodasi ini: no drama, simpel, ga ada biaya aneh-aneh. Apalagi doi di Elizabeth Line dan lima menitan dari stasiun/jalur baru yang modern.
Scotland: kami akomodasi di Glasgow karena hotel layak di Edinburgh harganya keterlaluan haha. Selain itu, suami juga ada kegiatan di Glasgow sehingga perlu lokasi di situ. Berhubung kami sudah merasakan kalau hotel yang satu apartemen (ada dapur + mesin cuci dry) adalah pilihan tepat untuk kami, kami kerucutin pencarian di booking.com yang the whole apartement. Jadinya bisa masak (sayur wajib banget tiap hari! Plus makanan halal emang susah di sekitaran yang selain makanan Timur Tengah yang saya sama sekali ga prefer). Pakaian juga bawa dikit aja, karena bisa cuci dry gratis tiap hari di akomodasi. Kami di aparthotel ini, yang beberapa langkah dari Glasgow Central Statiun. Oke-oke aja tanpa drama. Kami dapet kamar di lantai 6 (katanya mending minta lantai atas, biar ga denger berisiknya jalanan).
4. Makanan London: Salah satu makanan UK yang saya selalu terbayang = Nando’s. Tapi, notenya adalah ga semua cabang Nando’s itu halal. Jadi, cek dulu aja di websitenya. Kami juga cobain resto Indonesia halal yang baru: Triple Hot Spicy. Lokasinya di dalam toko orang (bukan di pinggir jalan), jadi kalau habis ngikutin Gmap ga nemu: tanyalah penjaga toko di situ. Rasanya… hmmm kami prefer resto lain. Tapi, Laksanya enak. Sebenernya kami juga mau ke Pino’s Warung juga, tapi ternyata udah ga punya energi hehe. Btw tentang makanan London: Fish and Chips itu most likely ga halal ya. Tepungnya bisa krispi itu biasanya karena dicampur beer. Jadi, kalau emang ngidam, carilah yang klaim halal tanpa campuran beer.
Scotland: Susah benerrr cari makanan halal yang sesuai lidah kami di sini. Baik di Edin maupun Glasgow, makanan halal ya Timur Tengah (yang saya ga suka). Jadinya ya Nando’s cabang halal lagi atau masak sendiri di akomodasi. Ada sebenernya makanan Malaysia, tapi tipe yang jual pork dan bumbunya bumbu Chinese jadi kami ragu (saya DM IG, ga dijawab, jadi yasudah kami ga ke sana karena gatau gimana status kehalalannya).
5. Destinasi (Bersama Toddle)
London: National History Museum & Science Museum (mereka seberangan. Makan siangnya bisa di resto halal deket sana), Imperial College London (kampus si suami), Diana Memorial Park (oke ini pas summer! Sedia pakaian ganti ya buat si bocah), London Eye dan sekitarnya, Cambridge, Buckingham Palace (guide change: 11:00), Big Bang, Young V&A Museum
Scotland: Edinburgh in one day trip = University of Edinburgh (kampus saya), Arthur’s Seat, Calton Hills, Royal Mile, Princess Street Garden (makan siang bisa di Marmaris (beware jam bukanya) atau Mosque Kitchen yang Cafe (beware menu-menu non-Timur Tengah cuma tersedia mulai jam 14; tapi eskrim tetep tersedia sejak buka)). Museum Edinburgh = Dynamic Earth (oke ini!), Museum of Scottish Fire Heritage. Glasgow = Glasgow Science Museum, Free Wheel North. Sebenernya, saya juga berniat naik kereta Harry Potter tapi ga jadi karena ga ada tenaga haha. Lihat Hairy Cow juga bakal jadi pengalaman menarik buat anak, tapi kami skip soalnya waktunya ga memungkinkan.
Alhamdulillah. Akhirnya, di tahun ini, kami bisa menyelesaikan hutang yang dari dulu pengen kami selesaikan karena membuat hati ga tenang: KPR.
Tahun 2019, kami memutuskan untuk membeli rumah di Depok.
Kenapa beli rumah tapak? Saat itu, saya sedang hamil. Aset rumah adalah “kepastian” / financial plan utama kami begitu ada anak. Sedangkan, selama setahun pertama pernikahan, kami bermukim di apartemen dan kami merasa bahwa bukan kehidupan di apartemen yang cocok untuk anak. Tentunya juga karena apartemen yang kami tinggali dulu adalah apartemen menengah (Menteng Square dan Basura); kalau kami bisa afford apartemennya Nikita Willy ya tentu bakal beda juga pendapat saya :p
Kenapa Depok? Karena suami seumur hidup karirnya bakal di UI, kampus Depok. Ga ada alasan lain selain itu. Lahir dan besar di Sleman (DIYogyakarta) yang nyaman, tinggal di Depok itu cultural shock significant buat saya sebenarnya haha. Tapi yaaa that’s life and adulting, right? Keuntungan satu-satunya adalah rumah kami lima menitan dari UI, jadi pas saya maternity leave dan anak baru lahir, setiap lunch break, suami saya tarik pulang buat gantiin popok anak dan bawain sesajen buat saya.
Kenapa KPR? Ini juga perdebatan panjang untuk mencari titik temu sebenernya. Karena, cash yang kami punya sebenernya cukup buat beli lunas rumah sangat sederhana. Kalau saya saat itu seorang muslimah taat yang khanaah, tentu saya perlu mendorong suami buat memilih cash keras rumah tersebut. Tapi…. saya belum sanggup buat selegowo itu :””) Setelah beragam diskusi, suami akhirnya mengalah. Walau ibaratnya suami ga ada masalah tinggal di bawah jembatan, tapi suami melihat: saya tumbuh besar dengan cukup fasilitas, dan yang ada malah stress kalau diminta tinggal di rumah sangat sederhana dengan segala lingkungan turunannya. Sehingga, inilah bentuk kompromi kami sebagai pasangan. Walau rumah yang kami beli juga sejujurnya belum sesuai standar saya sepenuhnya (contoh: bukan di kompleks perumahan ternama), tapi ya inilah bentuk kompromi saya juga. Dan kami tidak getol untuk memilih KPR Syariah karena ya… apapun namanya, KPR itu (di mata kami) membuat tidak nyaman. Sehingga, memang KPR ini harus segera diselesaikan, dan jangan diulangi lagi. Kalau ada istri-istri yang bisa berbesar hati mendorong suaminya membuat keputusan untuk memilih rumah sangat sederhana dengan cash keras, saya salut. Karena memang itulah keputusan yang tepat, yang saya belum sanggup memilihnya.
Kenapa KPR dilunasi lebih cepat? Ini bukan pilihan obvious sebenernya. Demi keuntungan finansial, saya tau banyak financial planner tidak menyaranan untuk melunasi KPR segera. Ada beberapa yang justru menyarankan mending uangnya dialihkan untuk sektor produktif lain, atau memindahkan KPR ke bank lain demi bunga yang lebih rendah. Dari segi keamanan finansial-pun, KPR itu ibaratnya adalah safety net untuk keluarga single income seperti kami. Mari bayangkan: kalau ibaratnya ada suami yang pencari nafkah satu-satunya qadarallah meninggal duluan, asalkan rumahnya masih masa KPR, keluarga yang ditinggalkan justru bisa “mendapat” rumah yang menjadi lunas *plus* uang cash yang dikumpulkan untuk rencana pelunasan rumah. Win solution kan? Tapi… kami tidak nyaman saja dengan opsi-opsi tersebut. Kami percaya, KPR adalah hutang. Dan “niat” untuk melunasi semua hutang dengan sungguh-sungguh, tanpa sengaja mengulur waktu, insyaAllah sudah dianggap pahala. Walau jujur, kami juga bukan yang “bondo nekat” banget dalam melunasi KPR ini. Kalau mau lebih nekat lagi, kami sebenarnya bisa meng-uang-kan semua aset/investasi serta hidup lebih frugal dan mengusahakan pelunasan KPR ini sejak 2 tahunan lalu. Tapi, mungkin iman kami saat itu juga belum setinggi itu untuk bisa mencontoh orang-orang yang sepenuhnya berserah ke Allah. Sehingga.. saat inilah usaha terbaik yang bisa kami usahakan 🙂
Bagaimana cara pelunasannya? Sejak awal, saya sudah membuat kalkulasinya: kapan masa pelunasan terbaik yang kami mampu. Sejak awal memulai KPR, berdasarkan kalkulasi, dari 15 tahun masa cicilan, saya hitung insyaAllah kami mampu mengusahakan pelunasan di tahun ke-5. Alhamdulillah, beberapa bulan sebelum lima tahun itu, kami bisa mencapai target pelunasan ini.
Tabel kalkulasi, untuk simulasi. Saya lupa sumbernya dari mana (let me know if it’s yours! So that I can put the credit), namun file kosongannya dapat didownload di file Dropbox saya.
Setelah mencoba beberapa prosedur yang disarankan di blog orang-orang yang kami temui, ternyata ada beberapa prosedur yang sedikit berbeda dengan yang disebutkan di blog-blog tersebut. Per-Juli 2023, langkah kami hadapi adalah:
Hubungi kontak yang kami dapat via blog orang dengan menginformasikan: nomor pelanggan (CIF), nomor rekening KPR, nomor rekening tabungan, kantor cabang BNI, dan nama nasabah serta melampirkan Copy Perjanjian Kredit dan screenshot dari sisa saldo pinjaman terakhir. Ternyata, prosedurnya kurang pas. Kami mendapat balasan ini:
Sehingga, kami hubungi cc.pelunasan@bni.co.id dengan melampirkan surat formulir permohonan pelunasan yang sudah kami tanda tangani. Dokumen template surat formulir permohonan pelunasan yang kami terima bisa dilihat di link ini.
Kami kirimkan dokumen surat formulir permohonan pelunasan di antara tanggal 1-20 (tepatnya 1 September). Email dibalas 6 September. Di bulan September, cicilan masih berjalan seperti biasa. Lalu di 9 Oktober, kami diberikan rincian pelunasan yang sebenarnya: Nominal X. Mencantumkan keterangan:
Di hari yang sama (9 Oktober itu), kami balas emailnya seperti di bawah ini. Sebenernya, narasinya bebas, yang penting konfirmasi aja kalau kita acc pendebetan nominal X itu. Kami juga ga tau seharusnya di rekening harus tersedia nominal X dengan atau tanpa saldo blokir. Tapi, buat jaga-jaga, kami siapkan di rekening nominal X tanpa menghitung saldo blokir (jadi, anggep aja saldo blokir itu ga ada dan ga bisa didebet).
Ternyata, dibalas di hari yang sama kalau pendebetan bakal segera diproses dalam 1-2 hari.
Di tanggal 11 Oktober, nominal X sudah didebet dari rekening kami dan kami menerima email konfirmasinya. Alhamdulillah.
Email pembicaraan jadwal pengambilan jaminan (read: sertifikat rumah) kami terima delapan hari setelahnya. Di kondisi kami, kami minta supaya sertifikat rumah tidak perlu kami ambil dulu. Karena kami sedang di Belanda, ga worth it aja balik ke Indonesia cuma demi ngambil sertifikat rumah; dan kami memang sudah ada plan untuk ke Indonesia untuk penelitian dll di beberapa bulan setelahnya. Sehingga, melalui email, kami menceritakan kondisi kami. BNI menyanggupi untuk menyimpan sertifikat rumah kami dahulu dan hanya meminta “mohon kiranya dapat mengabarkan kembali kepada kami apabila bapak sudah berada di Jakarta H-3 sebelum kehadiran di Gedung BNI mohon dapat menginfokan kembali kepada kami”.
Alhamdulillah.
Pelunasan rumah ini tentu bukan titik akhir finansial. Namanya aja manusiaaa ya tentu banyak wish-list lain seperti renovasi rumah, kendaraan (kami di Indonesia sepeda aja belum punya haha), etc. Terlebih, berhubung kami ga berniat menjadikan rumah tersebut sebagai rumah selamanya, dan ga sampai hati buat ngambil KPR lagi, berarti kami perlu siap cash untuk beli rumah/tanah pensiun di masa depan.
Dana pendidikan dan dana darurat gimana Fir? Nah, ini yang saya maksud tadi. Sebelum “berani” pelunasan KPR ini, dana darurat dan data pendidikan hingga awal SD saya amankan dulu (anak saya sekarang 4 tahun). Saya hitung: biaya TK + biaya masuk SD yang kami incar + SPP untuk minimal tiga tahun pertama SD. Kami sisihkan nominal tersebut. Kenapa tiga tahun? Karena saya mikirin worst case kalau ternyata suami yang pencari nafkah satu-satunya qadarallah kenapa-kenapa, durasi itulah yang saya rasa memungkinkan untuk saya bisa jobseeking/settle dll mengusahakan hidup kami selanjutnya. Tentu, semua udah Allah atur. Dan manusia diberi akal untuk berpikir dan berusaha. Jadi ya, kami mengusahakan apa yang bisa kami usahakan 🙂
PS, fun fact:
Kalau dihitung akumulasi cicilan yang sudah ditempuh selama 4 tahunan ini dan segala biaya administrasi bank (penalti pelunasan dkk), kami total membayar sekitar 140-an% dari uang yang kami pinjam.
Nominal X itu adalaaah 87% dari yang kami pinjam haha. Jadi, sebenarnya kalau mau bersabar 4-5 tahunan nabung, kami bisa cash keras rumah kami tsb saat ini. Terlepas dari pendapat “kan harga rumahnya sekarang naik”, “belum tentu bisa dapet rumah yang cocok kalau baru nyari sekarang”, “kan dulu gatau kalau bisa nabung segini”, kami tetap merasa … udahlah gausah KPR. Hitungan duniapun, KPR itu rugi. Harga rumahpun ga naik sejauh itu kok dalam lima tahunan. Mending sabar dulu sajaa dan cash keras/DP sangat besar untuk rumah 🙂
Akhir kata, semoga semua pejuang KPR mendapat kelancaran dalam melunasi KPRnya. Semoga para orang hebat yang berani bersabar biar bisa cash keras tanpa KPR, bisa istiqomah dan mendapat imbalan setimpa 🙂 Best luck!