Educations

Delft: The First 4 Months

Tanpa terasa, ini sudah bulan keempat kami di Delft. Berkaca dari tulisan 1/3 Edinburgh yang saya tulis beberapa tahun lalu ternyata Alhamdulillah bermanfaat untuk beberapa orang, saya akan rangkumkan juga empat bulan pertama di Delft, dengan topik: keberangkatan (e.g., visa, barang bawaan) dan adaptasi (e.g., biaya hidup, pendidikan anak). Enjoy!

1. KEBERANGKATAN

Seperti saya ceritakan sebelumnya: suami sudah berangkat duluan selama dua tahun ke Belanda untuk PhD dia dan saya menyelesaikan second master dulu. Begitu urusan sekolah dan beasiswa saya beres, kami langsung mencari waktu yang paling pas untuk saya dan anak berangkat ke Belanda. Ada dua hal yang perlu diperhatikan: (i) temperatur. Kami yakin adaptasi anak kami (umur 2 tahunan) bakal lebih menantang kalau temperatur Delft sedang rendah. Jadi kami putuskan untuk datang saat sudah melewati puncak dingin di Delft. Sehingga, walau PhD saya mulainya September ini, sengaja kami berangkat lebih awal untuk adaptasi anak dan berangkat di awal Maret, dan (ii) akomodasi. Pencarian akomodari di Delft, terutama untuk family, itu susaaahhh sekali. Kami menghubungi 20-30 akomodasi yang diiklankan dan cuma segelintir yang membalas. Solusinya? Telpon! Dari pengalaman kami, banyak public maupun private sector Belanda itu tidak responsif membalas email. Sehingga paling tepat adalah menelpon (yang ini juga PR. Belanda adalah negara non-English language paling fasih berbahasa Inggris, tapi automatic answernya sering kali cuma menggunakan Dutch). Btw, go show tidak diapresiasi di Belanda jadi usahakan buat janji dulu. Setelah menelpon dst tersebut, akhirnya kami mendapat kesempatan 3-4x untuk viewing. Viewing dilakukan bersama beberapa orang lain (alias saingan kami untuk mendapatkan akomodasi tsb). Setelah viewing, semua kandidat yang berminat diminta membuat surat lamaran ke landlord (berisi identitas, income kita, dst) dan landlord akan memberi ranking prioritas berdasarkan apapun pertimbangan doi. Btw, sebenarnya kami hanya ranking 2 di akomodasi kami yang sekarang ini. Tapi yang ranking 1 mengundurkan diri, sehingga kami di last-minute bisa mendapat flat ini. Rezeki.

Setelah mendapat akomodasi, langsung kami pesan tiket untuk kami bertiga (suami jemput ke Indonesia dong tentu! Saya gamau sendirian bawa barang dan toddler di penerbangan jarak jauh :p). Kami memilih penerbangan Garuda Indonesia karena, pada saat itu, GA satu-satunya yang direct dari Jakarta ke Amsterdam. Bagasipun transfer dari Yogya (masukin semua bagasi di Yogya dan langsung ambil di Amsterdam). Lalu dari Amsterdam, kami naik taxi ke Delft (99 Euro, booking dan bayar online di sini). Kami berangkat jam 10an pagi Yogya-Soetta. Karena penerbangannya JKT-AMS itu tengah malam (artinya: nunggu setengah hari bersama toddler di kala pandemi), kami booking Anara Hotel yang berada di dalam Terminal 3. Hotelnya bagus, si anak seneng karena bisa lihat landasan pesawat dari dalam kamar, tapi lokasi hotelnyanya masih banyak pegawai bandara-pun belum familiar (jadi telpon dulu aja. Intinya: dari samping Pepperlunch turun lift).

Selama di pesawat, Alhamdulillah tidak ada kendala karena sengaja memilih yang jam anak bobo. Sayapun sengaja bawa bekal untuk anak (terutama: protein), karena makanan di pesawat pasti rasanya menyengat. Mainan tentu saja: puzzle baru, stiker baru, buku pesawat etc. Satu koper kabin anak saya isi full dengan mainan. Untungnya, penerbangan tsb bukan penerbangan pertamanya anak karena pernah naik pesawat saat pengurusan visa ke Jakarta. Ohya tentang visa: (i) anakpun harus datang untuk appointment visa di kedubes belanda. Saya nanya (tepatnya: protes) ekplisit ke petugas yang meriksa berkas dan dijawab kalau anak baru lahirpun tetep harus dateng sendiri untuk dilihat mukanya; (ii) buat pengantar, ada cafe layak di samping lokasi appointment/persis seberang perpustakaan Erasmus Muis untuk menunggu. Masuknya dari pintu yang sama -> appointment belok kiri, ke perpus/cafe belok kanan. Tentang bandara, kalau bawa anak, jangan lupa minta prioritas saat ngantri. Di bandara Belanda, prioritas seperti ini otomatis akan diberikan (petugas inisiatif menyuruh kita langsung ke antrian prioritas). Tapi di Soetta, saya harus nego dulu ke petugasnya supaya bisa ga ikut ngantri di antrian panjanggg jemaah umrah sambil ngegendong anak yang tidur. Tentang barang bawaan, ini list saya saat saya single S2 dulu dan sekarang pas bawa buntut:

2. ADAPTASI

Kasus kami ini agak unik, karena saya: (i) mengawali sebagai dependent suami baru mulai PhD saya sendiri, sehingga intake kami berbeda, dan (ii) sumber funding kami berbeda. Suami sebagai employee TUDelft (digaji kampus TUDelft) sedangkan saya dari LPDP. Sehingga bahkan bagian HR/asuransi/dstpun bingung dengan kasus kami haha. Long short story, ini mungkin beberapa poin yang bisa saya simpulkan:

a. Mending mana: funding LPDP atau employee?

Saya selalu utarakan ke semua temen yang sedang master: kalau besok pas PhD bisa dapat pendanaan dari Eropa, ambil! Karena… sebeda itu dengan external funding. Ada dua perbedaan mencolok internal funding (dibiayai kampus maupun proyek EU) dan external funding (e.g., LPDP), yakni:

(i) Nominal

Dari dulu saya ke mana-mana mencari: sebenernya take home pay-nya gaji belanda itu berapa sih? Saya cuma tau brutonya, seperti di gambar ini.

Standar salary PhD di Belanda (semua kampus sama). Source: https://www.nwo.nl/sites/nwo/files/media-files/Salary%20table%20from%201%20July%202022.pdf

Tapi setelah dikurangi pajak dan ditambah bonus, intinya berapa sih dan kzl ga nemu satupun yang menginformasikan. Padahal penting banget data gituan buat saya yang overthinking ini hahaha. Jadi, saya mencatat selama tiga tahun ini take home pay (THP)-nya suami berapa perbulan. Dengan keadaannya: (i) ada bonus 2x setahun di bulan Mei (summer bonus) dan bulan Desember (holiday bonus), (ii) suami ga ngambil jatah libur (alias jatah liburnya dijual menjadi uang), dan (iii) memakai skema 30% ruling, yaitu 30% dari gaji pokok ga dikenakan pajak (hanya bisa diklaim oleh yang belum pernah ke Belanda dalam lima tahun terakhir). Kesimpulannya: kalau dirata-rata dalam setahun, THP perbulannya ternyataaaa ya sesuai (hampir persis) dengan nominal di tabel itu.

Sedangkan saat ini awardee LPDP akan menerima nett 1.300 (tidak kena pajak) perbulan untuk Delft. Akan ada tambahan +25% perorang kalau membawa keluarga (max +50%. Jadi kalau membawa satu spouse dan anak berapapun, yang diterima adalah 1.300+650 = 1.950 EUR). Apakah ini cukup? Saya selalu menekankan: income dari LPDP cukup bgt kalau single. Saya dan semua awardee (at least kecuali di beberapa kota outliers) yang saya kenal bisa menabung lumayan dari masa sekolah kami dulu sebagai single. Beberapa awardee bahkan bisa naik haji dari Eropa dengan saving itu. Tapi kalau membawa keluarga, cukup tidak? Saya akan jabarin expense family kami di bawah.

(ii) Benefit

Kami ikhlas membayar pajak 38.1% pemerintah Belanda karena benefitnya juga terasa langsung. Selain infrastruktur, ada child benefit 250an EUR per-tiga-bulan yang diberi untuk semua anak di bawah 18 tahun ([Edit: apakah termasuk untuk anak awardee LPDP? Sampai saat ini, kami belum tau karena belum nemu case yang mengajukan child benefit dengan full-LPDP]). Khususnya buat orang tua pembayar pajak, daycare (yang mahal buanget) itu juga disubsidi. Hitungan kasarnya: biaya daycare sebulan (full 5 hari/minggu) itu 2.000an EUR (iya, serius. semahal itu). Kalau kedua ortunya pembayar pajak dengan jumlah jam kerja full-time, bisa klaim kinderopvangtoeslag dan daycare jadi bayarnya 500an EUR sebulan. Signifikan reduksinya. NAAAHHH MASALAHNYAAA PhD external funding (seperti awardee LPDP) ga bisa dapet subsidi ini. Jadi keluarga kami = suami employee pembayar pajak + saya LPDP bukan pembayar pajak = ga bisa dapet subsidi ini. Solusinya gimana dong Fir? Kalau ini, japri sis haha. Panjang sekali soalnya 🙂

Anw. Walau salary internal PhD student = lebih banyak dari LPDP, tapi tanamkan kalau merekapun… adalah pekerja bergaji rendah. Gaji suami saya yang sedang PhD = tetep jauh lebih rendah dibanding gaji anak S2 yang kerja di perusahaan sini. Terlebih, salary PhD Belanda itu bukan terbesar di Eropa. Bisa cek di sini untuk perbandingan salary PhD negara-negara lain. (anw lagi, jangan lupa lapor pajak di SPT Indonesia. Lapor aja, gausah bayar pajak lagi kan udah bayar di sini. Beasiswa juga masuk ke komponen ga kena pajak kok)

b. Biaya hidup berapa?

Selama dua tahun suami tinggal sendirian di Belanda, pengeluaran bulanan dia kurang lebih: 500-700 EUR untuk akomodasi (termasuk bills dan pajak provinsi; dia udah pindah akomodasi 3x mulai dari DUWO, shared house, hingga studio) + 200an untuk makan. Tapi sejak ada anak, pengeluaran membengkak haha karena akomodasi family itu mahal sekali dan Belanda itu ketatttt bgt untuk akomodasi: sebelum BSN kita terima, Gementee akan nanya (wawancara) tentang kelayakan akomodasi kita (kamarnya luasnya berapa untuk perorang, ada jendelanya atau enggak, bahkan temen ada yang diminta nunjukin foto kamarnya). Beda sama kisah di negara lain yang kami tau banget satu rumah kecil dihuni sama 4 keluarga, di Belanda ga bisa gitu. Terlebih, karena kami berdua bakal PhD di TUDelft, kami cari akomodasi yang deket kampus. Siapkan anggaran 1.000-1.500 EUR sebulan (exclude bills) untuk akomodasi dua kamar (anak harus kamar terpisah) di daerah sini. Tapi kalau ga butuh deket kampus, Rijwick dan Den Haag menawarkan opsi yang lebih banyak. To sum up, ini pengeluaran riil kami selama empat bulan:

Expense bulanan kami (Tahun 2022). Disclaimer: Kami baru tiba di Delft pada Maret minggu ke dua dan catatan ini baru memuat hingga Juni tanggal 25. Water ditagihkan per-tiga bulan.

Update 2023. Ada kenaikan harga akomodasi (walau tidak signifikan untuk akomodasi kami. Soalnya ada temen yang naik sampai +500an Euro akomodasinya). Untuk groceries, masih standard kenaikannya. Yang perlu diperhatiin adalah tax tahunan, karena ternyata nominalnya besar (872 untuk daerah kami, untuk tiga manusia)
Update 2023. Ada kenaikan harga akomodasi (walau tidak signifikan untuk akomodasi kami. Soalnya ada yang naik sampai +500an Euro akomodasinya). Untuk groceries, masih standard kenaikannya. Yang perlu disiapkan adalah tax tahunan, karena nominalnya besar (872Euro untuk daerah kami, untuk tiga manusia)

Akomodasi kami tipe semi-furnished. Kasur kami beli sendiri di Matrasdirect (ga di IKEA karena review matrasnya IKEA tidak recommended), mesin cuci+dryer (karena kami pasti wacana kalau perlu ngejemur segala) di coolblue yang bergaransi dan gratis pengantaran-pemasangan, dan pritilan di IKEA (ongkir gratis kecuali barang besar).

Tentang makanan, sejak S2 di UK, saya insyaAllah ketat untuk kehalalan makanan (termasuk bumbu dan bahan campurannya), sehingga hampir selalu si suami masak di rumah. Tbh, mencari restoran halal di Delft itu juga susah, karena: (i) restoran Indonesia ga ada yang halal sekaligus enak (jadi jangan langsung asumsi restoran Indonesia = halal, tidak tidak), (ii) kami bosen sama makanan Turki haha. Opsi restoran halal yang kami suka beli palingan ini: Taste the Best (Mall De Hoven), Karim Fast Food (cobain Hotwingsnya deh). Samara2Go juga bisa. Kalau mau eskrim, minta yang non-alkohol dan gelatin dari soya. Cheesecake bisa terobati di MultiVlaai (cuma menu yang di link itu doang) yang ada counternya di Mall De Hoven. Groceries: Jumbo (Mall De Hoven), AH XL (seberang Mall De Hoven — toiletries lengkap buat anak), LIDL (buat sayur mayur lebih lengkap), dan Polat (toko halal, Mall De Hoven). Shoyu halal juga ada di Polat anw #pentingbuatgw. Tapi katsuobushi gitu ga ada di sana maupun Super Panda, jadi kalau niat bisa order di semacem Gembira atau Azia.

Aplikasi mobile berguna: Getir (diskon banyak, nyampe dalam hitungan menit), Bol (best deal banyak), Marktplaats (semacem eBay, saya dapet sepeda ok dari sini. Sering lebih ok dari facebook group). Situs belanja yang kami udah dan bakal terus pakai: Zalando (jaket proper opsi banyak), Amazon NL (udah much better mereka; ga kayak dulu: 2 dari 3 paket ga ada yang nyampe — untung selalu bisa klaim refund). Untuk bank, walau suami memakai AMRO, tapi saya memakai ING karena di Delft kantor AMRO sudah ga ada dari tahun ini. Membuka akun bank sebenernya gampang bisa via aplikasi, tapi saya bermasalah di tax dan harus ke kantornya untuk verifikasi (kantor cabang yang di central, ga bisa pas cuma ke kantor cabang pembantu yang di dalam Mall De Hoven –> kalau males ribet sebenernya bisa minta bikinin di mall sini. Di dalam toko Primera (iya, di dalem banget samping kasir); kalau ini go show aja gapapa).

c) Sekolah anak gimana?

Sistem pendidikan anak usia dini Belanda adalah seperti ini:

Umur 0-4: Daycare (opsional. Bayar mahal. Kalau kedua ortunya pembayar pajak, bisa klaim Kinderopvangtoeslag seperti yang saya ceritain di atas). Mayoritas daycare menggunakan Dutch aja, dan sepanjang saya nyari cuma nemu dua daycare yang billingual (Dutch + English) di Delft: True Colors dan Eglantier. Kedua sekolah itu kurikulumnya sama, di bawah naungan KinderopvangMorgen. Berhubung waiting list mereka panjang sekaliiii, daftarlah sejak lama. Inceran utama saya sebenernya True Colors soalnya lokasinya persis di samping kantor saya (tapi waiting listnya masih panjang. Nego bilang kalau kami berdua PhD di TUDelft (karena True Color kolaborasinya sama TUDelft)-pun ga dapet prioritas haha). Alhasil kami masukkan ke daycare Eglantier. Karena mahal, cuma mampu seminggu dua kali aja haha. Daycare ada yang tipe yang dua kelas seperti True Colors (ruangan anak 0-2 tahun serta 2-4 tahun terpisah), ada yang gabung dari bayi-yi till 4 tahun seperti Eglantier. Biasanya buka dari jam 8an – 18an (tergantung tempat dan program).

Umur 2.5-4: Peuterspeelzal alias Kindergarden. Ini opsional juga, bayar walaupun bayarannya tergantung lokasi. Di Peuterspeelzal naungan Stichting Delftse Peuterspeelzalen (SDP), murah 16 EUR sebulan. Tapi di True Color maupun Eglantier, harga 200an EUR sebulan. Jam 8an-12an siang, dua kali seminggu. Tapi kalau kita punya VVE dari JGZ yang mengindikasikan kalau anak kita butuh durasi sekolah lebih lama, bisa jadi empat kali seminggu. VVE ini juga tricky. Temen saya yang tinggal di Rijwick dan salah satu ortunya PhD TUDelft bisa dapet VVE karena dirasa anaknya butuh sekolah lebih lama untuk catch up Dutch-nya. Tapiii kami ga dikasih VVE padahal udah minta dan nego :”) JGZ ga ngasih VVE karena kami berdua PhD, dan doi bilang “bisalaaah sampean berdua ngajarin anak sampean sendiri, lagian di Delft ya sekolah penuh”. Btw ini juga lebih ngantri lagi kalau mau yang di Delft banget: True Color maupun Eglantier udah setengah tahun ngantri kami tetep ga dapet tempat. Akhirnya Alhamdulillah dapet di naungan SDP tapi mulainya baru bisa.. 6 bulan lagi :)) (Edit: ga ada hujan tapi angin selalu kenceng, pada suatu hari mendadak kami dapet email dari True Color yang mengabarkan ada slot kosong buat Peuterspeelzal. Langsung kami cancel Peuterspeelzal lain dan kami ambil yang Peuterspeelzal True Color soalnya di samping kantor saya persis. Metode belajarnya luar biasa OK, 100% recommended).

Umur 4 tahun: diusir dari daycare maupun Peuterspeelzal. Saatnya masuk bassisschool. Biaya gratis (kecuali Internasional School Delft (ISD) ataupun sekolah swasta lainnya) — paling ada kontribusi 50an EUR aja setahun buat dll dstnya. Tapi mayoritas sekolah bahasa pengantarnya Dutch aja. Yang billingual Dutch+English sedikit, salah satunya Eglantier itu tadi. Cara daftarnya gimana? Hubungi directier-nya (alamat email jangan ditranslate haha saya nyoba 3x failed terus eh ternyata karena alamat emailnya ke-translate). Pas bulan kami datang, pas banget dengan open day jadi kami diminta dateng dan dikasih formulir buat pendaftarannya. Alhamdulillah dapet tempat di situ. Btw daftarnya jauuuuh hari ya. Kami daftar pas si anak menjelang 3 tahunan. Tapi ada itu orang di sebelah yang daftarin anak baru lahir haha. Karena ya seketat itu antriannya. [Update: ternyata kami ga jadi ambil sekolahnya itu, karena si anak ga berkenan. Kami akhirnya masukin ke ISD, sesuai sama permintaan si anak).

Akhir kata, semoga bermanfaat! Selamat menikmati kedatangan.

Standard
Educations

Beasiswa LPDP (Pengalaman S3 2021 vs S2 2015)

Bismillahirrahmanirrahim.

Saya dua kali dikasih rezeki beasiswa LPDP dengan kualifikasi saya yang sebenarnya minim.

  1. 2015: IPK S1 3.04, publikasi nihil, non-LoA (saya ke University of Edinburgh UK).
  2. 2021: IRT beranak bayi, tanpa institusi dan bahkan riwayat resign PNS, publikasi minim, non-LoA (insyaAllah ke TUDelft Belanda).

Pengalaman seleksi saat S2 saya pernah tuliskan di sini. Sedangkan di postingan kali ini, saya akan sharing hasil kontemplasi saya untuk seleksi jenjang S3 karena penekanan untuk S3 tentu berbeda dengan S2. Semoga bermanfaat 🙂

Saya tidak bisa share detail wawancaranya karena (kali ini) ada surat perjanjian kerahasiaan, tapi saya akan share kesimpulan dan jawaban saya dalam menghadapi wawancaranya. Ada tiga poin yang saya garis bawahi:

  1. Kenapa Indonesia perlu kita untuk kuliah topik itu di Luar Negeri (LN). Tarikan:
  • Kenapa harus kita (bukan orang lain. Bukan temen sejurusan kita. Bukan tetangga depan rumah kita)
  • Kenapa topik itu (apa urgensi topik itu untuk Indonesia saat ini dan di masa depan, serta konsistensi minat dan kontribusi kita terhadap topik tersebut selama ini)
  • Kenapa di kampus LN tersebut (jawaban spesifik. Mungkin kampus dalam negeri juga ada yg menawarkan topik itu dengan biaya yang jauh lebih rendah. Argumen kita harus bukan sekedar karena “bagus” “bisa membantu karir” — yang merupakan keuntungan buat kita, bukan Indonesia)

2. Kenapa kita perlu untuk S3. Tarikan:

  • Kalau jalur kita mau jadi dosen, jawabannya bisa lebih singkat. Perlu juga ada peyakinan bahwa kita beneran bakal jadi dosen (misalnya kita ada pengalaman ngajar, ada institusi cantolan, atau sudah diminta suatu universitas di Indonesia untuk bergabung setelah lulus S3)
  • Kalau bukan jadi dosen, bakal lebih panjang jawabannya. Perlu justifikasi kenapa kontribusi yg kita ajukan perlu kita untuk S3, serta argumen bahkan jaminan bahwa setelah lulus S3 kita benar akan melakukan kontribusi itu.

3. Apakah kita bisa diterima DAN lulus S3. Tarikan:

  • Kualifikasi akademik: publikasi di topik terkait, kuliah dan skill yang mendukung.
  • Usaha mencari kampus: LoA, pengalaman sudah menghubungi prospective supervisor.
  • Riset proposal yang ditawarkan: novelty, urgensi, kematangan.
  • Kualifikasi personal: pengalaman manajerial, perjuangan menggapai hasil di segala keadaan, jaminan bahwa situasi keluarga mendukung, pengalaman gagal, dll.

Terhadap ketiga poin tersebut, ini poin-poin jawaban saya:

  1. Kenapa Indonesia perlu saya untuk kuliah topik itu di Luar Negeri (LN).
  • Topik saya adalah tentang cybersecurity (tepatnya: privasi). Sehingga di seluruh dokumen saya konsisten ceritakan tentang pengalaman riset dan kerja di bidang ini (Allah memang sebaik-baiknya perencara. Secara tidak sengaja, saya ada pengalaman di bidang ini sejak lima tahun lalu). Saya juga awali dengan statement bahwa: “sejak sepuluh tahun terakhir, motivasi saya adalah berkontribusi untuk Indonesia” — yang memang benar adanya hehe idealisme masa muda. Lalu saya ceritakan bukti dari motivasi itu (e.g. magang di MPR, tugas akhir tentang DPR, gabung smart city, kuliah S2 yang terkait di Edinburgh, menjadi PNS Kementerian) serta bukti bahwa saya selalu do my best di setiap kontribusi itu. Lalu begitu saya resign PNS dan hendak menjadi akademisi, saya ambil S2 lagi yang teknikal (tekankan IPK 3.98, lulusan tercepat departemen, sambil mengurus bayi no-ART no-nanny suami-LDM) dan pengalaman mengajar di UI. Kesan yang hendak implisitkan adalah: saya seorang yang berjuang, nasionalis, dan strategis. Jika percaya bahwa ada hal bermanfaat yang patut diperjuangkan, saya berjuang maksimal untuk itu tanpa excuse.
  • Lalu saya ceritakan tentang urgensi topik saya. Saya awali cerita tentang riset dengan: “Pak X dan Bu Y pasti familiar dengan berita tentang kebocoran data (ceritakan kasus yang lagi hype). Itu baru awal saja ternyata, Bapak Ibu. Di masa depan (saya ceritain futuristik yang saya yakini, lalu masuk ke ranah spesifik yang akan saya eksplore plus kenapa ranah itu). Di Indonesia sendiri, (saya sadur ucapan direktur BSSN). Meskipun saat ini RUU Perlindungan Data Pribadi di Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 22 sejatinya sudah xxxx, tapi di masa depan ada celah yakni xyz”. Kebayang ya? 🙂 Saya implisitkan bahwa saya familiar terhadap: (1) state-of-the-art dan arah riset di ranah spesifik saya, (2) situasi Indonesia saat ini dan critical thinking tentang peluang masa depan di ranah spesifik saya itu. Lalu saya jabarkan kontribusi spesifik (“apa”, “untuk lembaga mana”, “apa signifikansinya”) yang saya niatkan bagi Indonesia pada 5, 10, 15 tahun mendatang.
  • Tentang kampus tujuan, ini agak tricky buat saya. Kebetulan suami saat ini PhD tahun ke-2 di TUDelft. Sehingga pasti ada asumsi kalau saya sekedar nyusul suami (dan iya, beneran ditanyain gitu sama pewawancara haha). Jadi saya sudah siapkan jawaban ini: “sejak awal, saya sudah diskusi dengan suami. Karena topik saya tentang privasi, di Indonesia, RUU PDP secara eksplisit menyebutkan bahwa rujukannya adalah Uni Eropa. Di Eropa, yang paling xxx adalah kampus A dan B. Nah untuk bidang individual saya dan suami, paling bagusnya di kampus TUDelft. Kenapa? Karena XYZ. Terlebih di kampus TUDelft, ada Lab XXX yang afiliasi dengan XXX. Ketua dari Lab tersebut rencananya akan saya propose menjadi spv”. Terus ditanya “kenapa bukan kampus B” (saya bisa jelasin meyakinkan karena kampus B itu almamater S2 saya hehe).

2. Kenapa saya perlu untuk S3

  • Alur cerita yang saya tekankan adalah: saya S3 bukan fokus untuk diri saya, tapi untuk Indonesia. Jadi segalanya bukan Syafira-sentris tapi Indonesia-sentris. Bukan Syafira-suka-apa tapi Indonesia-perlu-apa. Saya ceritakan: sejak sepuluh tahun terakhir, saya berkeliling sektor (lembaga legislatif, lembaga penelitian, berbagai lembaga ekskutif) untuk mencari: saya bisa paling bermanfaat bagi Indonesia saat berada di sektor mana. Dan selalu berusaha totalitas setiap berada di sektor manapun (sambil jelaskan impacts/achievements yang didapat). Lalu jelaskan kenapa berpindah sektor –> ini bagian paling tricky dan fokus pertanyaan pada saat wawancara saya. Saya dikejar oleh pewawancaranya kenapa resign PNS karena seolah kontradiktif dengan niat kebermanfaatan bagi Indonesia. Alhamdulillah saya memang paling menyiapkan rangkaian jawaban tentang ini, sehingga akhirnya pewawancara sepakat dengan alasan saya 🙂

3. Apakah saya bisa diterima DAN lulus S3.

  • Daya jual utama saya: (1) mempunyai dua gelar S2 yang saling melengkapi: IT dan social science, (2) pengalaman bekerja di berbagai sektor. Sehingga, sepertinya pewawancara meyakini saya minimal tidak tersisih di seleksi awal dari kampus dan cuma sekilas mengecek nilai bahasa Inggris (btw wawancara saya dengan psikolog 100% Bahasa Indonesia, dengan akademisi 100% English). Bahkan sebenernya beliau tidak menyinggung proposal riset saya sama sekali. Tapi berhubung saya sudah membuat usulan model (print satu lembar A4. plus eksplisitkan di situ: apa signifikansinya untuk Indonesia), saya minta waktu untuk mempresentasikannya (diberi lima menit). Komentar beliau cuma satu “ohyaya. Ini sudah pernah dipresentasikan di depan calon supervisor?”. Karena saat itu saya masih ditolak-tolak oleh banyak calon spv, saya bilang “sudah Pak, ke (sebut nama). Cuma beliau bilang kalau beliau tidak berminat ke arah X dan Y”.
  • Btw, tentang pencarian supervisor, saya menemukan inferensi ini:
    • Ditolak itu sangat wajar. Saya ditolak oleh 3 dari 7 calon spv dengan alasan utama: topik yang saya tawarkan tidak sesuai sama arah gerak riset mereka di masa depan. Padahal saya meng-approach para supervisor setelah membaca 5-25 paper + situs resmi/pribadi mereka untuk meyakini bahwa mereka mempunyai minat di bidang privasi dan artificial intelligence (AI). Tapi ternyata, “yang dulu mereka minati” belum tentu “di masa depan juga tetap minat”. Ada juga calon spv yang saya yakin banget beliau expert utama di “privasi by design” dan “AI”, tapi karena saya approach beliau dengan proposal tentang privasi+AI+Internet of Things (IoT), beliau menolak karena tidak berminat tentang IoT (kesimpulan: riset proposal jangan terlalu spesifik saat approach spv. Setelah itu, setiap saya mengajukan riset saya selalu cuma di “privasi” dan “AI”, dengan case-nya saya jelaskan bisa fleksibel. Setelah diskusi pertama dengan calon spv, barulah bikin proposal yang lebih spesifik).
    • Saya merasa jika kualifikasi yang selalu ditanyakan saat wawancara dengan calon spv adalah: (i) risetnya potensial? (ii) background keilmuan sesuai? (ii) orangnya ‘PhD material’? –> pengalaman menyikapi kegagalan (karena ya sepanjang S3 itu = bakal jadi kumpulan pengalaman gagal :p), critical thinking (ada temen cerita: dia saat interview S3 diajak sejam menelaah dan mencari celah atas paper), pengalaman publikasi. Kalau tentang keluarga, menurut saya bukan concern-nya spv. I mean.. beda dengan LPDP yang sering kali pewawancara menanyakan situasi keluarga (“suami gimana kalau ditinggal sekolah?”, “bisa konsen tidak kalau ada anak”), sepanjang semua wawancara spv, saya tidak pernah ditanya mengenai kondisi keluarga. Imho orang Eropa tidak kepo tentang hal seperti itu. Palingan sekilas lalu saja ditanyakannya.
    • Jangan cuma berpaku pada LPDP. Apalagi untuk jenjang S3 di Eropa, dengan sangat jujur saya bakal bilang kalau bisa dapat beasiswa lain seperti beasiswa EU atau funding dari kampus, mending beasiswa lain karena.. nominal yang didapet beda banget. Bisa dilihat di sini untuk gambaran income PhD employee-nya Belanda (semua kampus sama, jangan lupa minta keringanan pajak). Tapi kelebihan dari LPDP (berarti sebagai external funding PhD student): (i) jauh lebih fleksibel jam kerjanya, (ii) lebih mudah diwelcome oleh calon spv (karena ya mereka dapet ladang publikasi gratis kan hehe. Walau kalau kata spv-nya suami, menerima external PhD student itu juga tantangan tersendiri karena perlu memastikan kalau orangnya bisa lulus. Secara kalau anak bimbingan tidak lulus, si spv dan promotor yang akan mendapat penilaian buruk). Anw, saya menyiapkan jawaban ini jika saat wawancara LPDP ditanya tentang “kenapa memilih beasiswa LPDP?“, yakni actually, LPDP is not my only option. Because my love for Indonesia is rock solid, I will come back help the developments of Indonesia regardless LPDP gives me the funding or not. But I find it more challenging to get a PhD acceptance without bringing my own funding. Within ths year, I have tried to obtain EU scholarship and funding from the univesity, and got interviewed three times. But I only got shortlisted. The prospective supervisor told me that he was greatly interested in me but his limited funding forces him to choose only one, between me and other candidates. He asked me to try again in next opportunities, and from my discussion with other PhD students, the chance to get approved is higher if we bring our own funding.
  • Saya juga ditanya tentang kepastian kembali ke Indonesia. Saya jawab dengan pragmatis bahwa suami harus kembali ke Indonesia karena sudah dosen tetap di UI, sehingga ya kami pasti bakal kembali hehe. Ohya karena suami akan PhD tahun ke-3 saat saya mulai kuliah, saya ditanya juga tentang timeline keluarga kami –> tarikannya menurut saya: apakah kami keluarga ‘ingkar janji’ yang suami tidak kembali setelah lulus S3 demi menemani saya selesai kuliah. Sehingga saya jelaskan kalau suami bukan beasiswa dari LPDP (dia statusnya employee TUDelft) sehingga sebenarnya tidak ada kewajiban kembali ke Indonesia segera (kecuali kewajiban dari UI, tapi itu beda cerita).

Jadi, apa kesimpulannya? 🙂

  1. Siapkan sebaik mungkin. Telaah diri sendiri untuk tau kira-kira ‘celah’ diri kita di mana. Kayak saya, jelas banget calahnya adalah: (i) pernah resign PNS, (ii) belum ada cantolan institusi, (iii) suami sedang kuliah di univ yang sama sehingga akan disangka sekedar nyusul. Sehingga saya matangkan sekali jawaban untuk tiga pertanyaan itu. Daaannn tiga pertanyaan itu memang muncul menjadi fokus pertanyaan saat wawancara saya.
  2. Mundur sejenak untuk bisa maju. Setelah resign PNS dan jadi IRT, saya sadar kalau saya tidak punya daya jual ke pemberi beasiswa maupun kampus tujuan. Apakah lalu saya nerima begitu saja? Ya tidaaakkk. Kalau tidak ada jalan, ya bikin sendiri jalannya. Saya cari kesempatan ngajar (Alhamdulillah dapet di UI. Sebagai dosen ‘terbang’ ber-SKS minim, renumerasinya bahkan lebih kecil dari gaji perawat yang menjaga anak saat saya ngajar hahaha). Saya lalu tunda ikutan suami ke Belanda untuk ambil S2 lagi di Indonesia, dan push diri sendiri buat dapet IPK maksimal + publikasi, sambil merawat newborn posesif no-nanny no-ART. Kuliah sambil ngegendong nidurin anak, presentasi sambil nyusui anak, ngoding ngepaper sambil dikejar anak yang minta main; semua jadi memorable buat saya 🙂 Sekaligus jadi amunisi untuk meyakinkan para pihak kalau: saya tidak punya masalah untuk jadi PhD couple walaupun punya bayi, karena saat sendirian+anak masih kecil nan demanding-pun, Alhamdulillah bisa perform juga studi saya.
  3. Yakinkan LPDP kalau investasinya tepat guna, dan serahkan sisanya ke Allah. Yakinkan kalau: kita bisa lulus (yang tidak lulus S3 itu banyak bung) dan bisa bermanfaat. Karenaaa S3 LN itu mahal sekalii dibandingkan DN. Saya hitung-hitung, biaya S3 saya itu 120.000an Euro (sekitar Rp 2 Milyar); itu bahkan di luar family allowance, uang pesawat, uang publikasi, asuransi, dst. Bandingkan dengan S3 DN (contoh: UI) yang hitungan kasar saya, sekitar Rp 350jutaan. Walau nominalnya sudah tidak up-to-date, tapi laporan rencana LPDP 2013 juga bisa membantu membayangkan bahwa total empat tahun S3 di LN (sekitar Rp 4,1 Milyar) = hampir 9x lipat dari biaya empat tahun S3 di DN (Rp 472juta). Sehingga, saya rasa LPDP akan lebih perhitungan untuk meloloskan kandidat S3 LN. Kemarin banyak teman saya (pejuang S3 LN) yang belum rezeki padahal saya pikir mereka LPDP-material (ada yang S2-nya awardee LN, ada yang PNS senior, ada yang sudah dosen tetap, dengan hampir semua sudah mengantongi LoA Uncon). Saya tidak tau apa yang terjadi di wawancara mereka. Mungkin, mereka mendapat pewawancara yang jauh lebih kritis dibandingkan saya. Mungkin, ada masalah teknis dll. Mungkin, rezeki mereka di beasiswa yang lebih besar nilainya. Kalau sudah begini: serahkan sama Yang di Atas. Kerena rezeki tidak akan tertukar.
  4. Saya tau kalau saya ber-privilege. S2 DN masuk ke skema financial kami, suami berkenan menyesuaikan timeline keluarga agar saya bisa S3, dan ortu memungkinkan cuti untuk membantu menjaga anak setidaknya saat saya ujian/interview. Tapi, saya mengelilingi diri dengan lingkungan orang-orang hebat tanpa privilege finansial dan tau bahwa keadaan mereka (yang dengan segala cara akhirnya bisa ke posisi sekarang) menghasilkan individu yang lebih matang dibandingkan saya. Contoh terdekat? Ya si suami 😉 Dia dulu dari keluarga under-privilege. Dari kota kecil yang bahkan saya baru dengar namanya, tidak disupport ortu untuk kuliah ke Jakarta karena faktor biaya, dan saat akhirnya nekat daftar UI-pun hampir tidak meneruskan karena bahkan uang pangkal Rp 5 juta-pun tidak bisa mengusahakan. Hasilnya? Daya juang dan daya lentur luar biasa. Saya yakin, perjuangan di masa-masa terbawah mereka pasti sangat berat. Tapi, merujuk si suami dan teman-teman yang dari kondisi sejenis, it will be paid off insyaAllah — dan jauh lebih besar dibanding orang seperti saya dengan deltanya tidak sedrastis mereka.

Kalau ada yang butuh lihat esai saya (minus personal statement tapi hehe karena terlalu privat), bisa langsung sertakan alamat email di komen; insyaAllah saya kirimkan secepatnya. Berhubung bulan Maret – Juni 2022 saya akan lumayan lowong, kalau ada yang hendak mendaftar S3 LN dan butuh tambahan mata untuk review esai dan/atau mock interview, langsung DM saya di IG juga bisa. Gratis 🙂 Saya menerima bantuan berharga dari banyak orang di setiap langkah saya, jadi ijinkanlah saya meneruskan amal jariyah mereka walau sedikit.

Akhir kata, semangat kawan-kawan. Enjoy the process!

Standard