Uncategorized

Makanan Halal Tokyo

Makanan Jepang selalu menjadi makanan favorit saya. Sedangkan, saya berlandaskan “by default, makanan Jepang itu tidak halal”. Sehingga, makanan Jepang halal & enak adalah perpaduan yang saya selalu habiskan waktu lumayan untuk menelusurinya. Berdasar pengalaman saya solo trip (read: conference) pada tahun 2023, baby moon 2009, maupun bermukim 1995-2000; dan juga suami undergrad exchange 2012-2013; yang semua di Tokyo, berikut daftar makanan halal yang sudah saya icipi selama di Tokyo. Semoga bermanfaat.

Bintang 5/5:

Soba, Sojibo Diversity, Odaiba



Lumayan effort buat ke sini, tapi totally worttthh it! Soba terenak yang pernah saya makan. Ocha-nya juga enak, sehingga kami beli beberapa ocha bubuknya sebagai oleh-oleh. Satu area dengan ‘robot’ gundam raksasa.
Japanese Hamburger, Kiwamiwa, Shibuya



Ngantri-nya satu jam sambil berdiri, tapi saya sampai 2-3x ke sini saking enaknya. Setiap pemesanan halal menu, chef-nya bakal ngeganti sarung tangan, utensil dkk untuk mencegah cross contamination.
Japanese Curry, Halal Coco Ichibana, Akihabara



Coco Ochibana itu by default tidak halal. Sehingga, perlu cari outlet yang halal (warna hijau). Sepertinya yang outlet Akihabara sudah tutup, sehingga cek ya lokasi terbarunya.

Bintang 4.5/5:

Tempura, Tendon Itsuki, Ginza



Lokasinya di dalam kompleks mini-mall yang agak jemilet (jadi tanyakan saja ke petugas). Agak ngantri saat jam padat, tapi enak!

Bintang 4/5:

Yakiniku, Gyumon, Shibuya



Dulu, hotal saya beberapa menit jalan dari Gyumon sehingga hampir setiap hari ke sini. Saladnya enak bgt. Kalau dagingnya: yakiniku di Indonesia banyak yang lebih enak. Tapi, masih ok ok aja untuk membuat kenyang.
Ramen, Halal Honolu, Shibuya



Effort. Karena perjalannya lumayan naik turun . Menurut saya, rasanya kurang istimewa walaupun tidak negatif juga. Mirip dengan ramen-ramen di Indonesia.
Sushi, Sushi Ken, Asakusa



Saya pesen lumayan banyak sebenarnya. Dari semuanya: jujur saya ga merasakan signifikansinya dibandingkan bahkan Sushi Tei.

Bintang 3/5:

Ramen, (Lupa), Asakusa



Di deretan toko setelah kuil Asakusa. Service-nya bagus sebenarnya, sangat ramah dan welcoming. Tapi, dari segi rasa kurang. Baik ramen maupun gyoza-nya lebih enak yang di Indonesia.

Sedangkan, untuk omiyage (survenir), snack-snack Jepang sebenarnya sangat populer. Tapi, titik kritisnya buanyak sekali. Contoh: Tokyo Banana itu tidak halal karena ada gelatin hewan dan/atau alkohol, kecuali satu varian (yang kurang menarik menurut saya). Kitkat Jepang bahkan mendapat label ‘haram level 2’ dari aplikasi “Halal Japan“. Aplikasi ini sangat berguna sebagai patokan btw. Sehingga beli akses premium berjangka (sesuai durasi saya di Jepang) sangat worth it; cuma 20 ribuan rupiah seingat saya waktu itu.

Sehingga, snack yang saya beli adalah:

  1. Pocky! Halal level 2 via aplikasi Halal Japan. Beli grosir di Mega Donki Shibuya.
  2. Senbei yang merk Amanoya Kabukiage. Halal level 3. Di convenience store banyak, tapi saya beli grosir di Mega Donki Shibuya.
  3. Snack label halal di toko paling depan deretan toko kuil Asakusa. Snack tradisional Jepang gitu. Tapi… rasanya kurang cocok di lidah saya. Jadi saya tidak menyarankan beli banyak.
  4. Di 2019, saya beli Senbei enak bgt, label halal, di deretan toko kuil Asakusa. Tapi, waktu 2023 saya ke sana lagi sudah ga bisa nemu. Sudah keliling 10x kayaknya di area situ, dan ga nemu lagi.
Kitkat: Haram Level 2

Pocky: Halal Level 2

Senbei Amanoya Kabukiage: Halal Level 3


Senbei Asakusa: Label Halal

Be note bahwa sopan santun dan norma masyarakat sangat dijunjung di Jepang. Sayapun ga selalu yakin dengan norma yang berlaku karena sudah bukan penduduk tetap. Sehingga, kalau saya ke Jepang lagi insyaAllah, saya bakal main aman. Contoh: Tendon Itsuki (Tempura) sepertinya ga akan cocok untuk membawa bayi < 3 tahun karena kursinya tinggi dan cuma tersedia belasan kursi di dalam toko. Kalau saya mau bawa anak ke sana, saya akan ganti-gantian aja masuk ke restonya dengan suami agar anak bayi tidak perlu dibawa masuk. Kalau gyumon, karena sistemnya tatami dan ruangannya sekat-sekat, jelas cocok untuk bawa bayi asalkan tidak heboh gerak (bahaya api). Apakah makanan sisa (kalau si bocah makannya lama sedangkan antrian di belakang sudah panjang) boleh dibawa pulang atau tidak, juga perlu dipastikan.

Postingan ini insyaAllah akan selalu saya update setiap kali saya ke Jepang. List incaran saya ini sekarang:

  1. Halal Ryotan (Risshisha / Yuzanso)
  2. Halal Yakiniku Panga
  3. Halal Wagyu Shinjuku-Tei Akasaka

またね!

Standard
Uncategorized

Swiss (dari Belanda, + Anak)

Di auturm break ini, kami akhirnya ke Swiss. Seperti mayoritas first-timer yang ke Swiss, kami ke daerah Jungfrau yang menawarkan kombinasi experience cukup berbeda dibanding wilayah Eropa lain. Dalam satu area, Jungfrau menawarkan salju, pegunungan, danau, air terjun, paralayang, hingga ski. Tidak semuanya kami bisa coba karena bersama si bocah 5 tahun, sehingga, semoga catatan ini bisa bermanfaat untuk para young parents!

Total expense kami selama lima hari adalah 1900an euro. Komponen transportasi NL-Swiss-NL sangat murah sejujurnya (370an euro untuk tiga orang PP); yang kami sesali haha. Kalau diibaratkan, kursi kami setara kereta ekonomi di Indonesia yang kursinya keras dan tegak 90 derajat. Untungnya kami sudah reservasi kursi (nambah 16 euro bertiga). Kalau tidak reservasi kursi, sepanjang perjalanan bakal diusir-usir dari satu tempat ke tempat lain yang lowong, bahkan di tengah malem. Saya ga expect kursinya sepertinya ini sebenarnya, tapi saat mau upgrade ke kelas lain sudah telat jadi yasudah 10 jam-an perjalanan tahan-tahanin (btw, perjalanan lebih lambat 30-70 menit dari yang dijanjikan). Saya sarankan pilih weekday (Selasa/Rabu). Tapi ya tetep… kalau bisa ngulang waktu, kami bakal milih yang gerbong sleeper demi kenyamanan.

Saya sangat merekomendasikan pembelian Jungfrau Pass dan ke Jungfraujoch. Jungfrau Pass adalah kertas sakti yang bisa membawa kita gratis keliling Jungfrau menggunakan hampir semua alat transportasinya, termasuk: tur boat 1.5 jam, gondola (cable car), dan kereta. Sedangkan, bus lokal akan gratis dengan menunjukkan kartu turis yang biasanya diberi oleh hotel/penginapan setelah kita membayar pajak kota saat kedatangan. Beware untuk waktu validitasnya. Di 2024 ini, Jungfrau (Summer) Pass cuma hingga 27 Oktober. Setelah itu adalah masanya untuk Jungfrau (Winter) Pass yang jauh lebih mahal. Sedangkan, Jungfraujoch adalah puncak tertinggi Eropa yang terjangkau alat transportasi. Di sana jaminan salju. Jungfraujoch ini tidak termasuk ke Jungfrau Pass, sehingga perlu bayar tambahan (63 CHF perorang). Menurut saya worth it sih. Awalnya kami juga berniat upgrade ke tiket yang reservasi (+30 CHF bertiga), tapi petugas tiketnya justru bilang tidak perlu, karena bukan summer yang peak season. Notenya juga: tanya dulu ke layanan tiket/informasi hari apa yang terbaik untuk ke sana. Kalau kami, memang mencari salju; sehingga sengaja ke sana saat salju turun. Tapi, kalau mencarinya langit biru yang kontras dengan pemandangan es, mending pastikan cuacanya sedang cerah tanpa salju.

Itinerary kami adalah seperti ini:

Hari 0-1: Berangkat dari Utrech ke Basel SBB. Berkaca dari pengalaman teman, bakal hectic kalau beli connecting train karena perlu buru-buru ngejar kereta selanjutnya dalam 13 menit. Jadi kami beli kereta terpisah dari Basel SBB ke Interlaken Ost yang satu jam setelah kereta dari Utrech seharusnya tiba. Eh, ternyata, keretanya terlambat bgt sampai. Sudah mengiklaskan perlu beli tiket lagi, saya iseng nanya ke petugas, ternyata tiket kami masih bisa dipakai untuk kereta selanjutnya, jam berapapun. Lalu, kami tiba di Intelaken Ost. Ambil cash di bank beberapa langkah dari stasiun. Lalu menuju penginapan. Secara ada bocil, saat jalan-jalan di Eropa, kami selalu sengaja pilih penginapan yang the whole apartment sehingga ada dapur (dan mesin cuci+pengering) untuk menjaga asupan protein dan sayur. Btw, penginapan kami walking distace dengan Interlaken Ost maupun West, dan menurut kami ini pilihan yang tepat. Karena, atraksi yang tercover Jungfrau Pass akan mulainya dari Interlaken Ost. Sedangkan, Interlaken West lebih area lengkapnya (restoran/toko halal, lapangan landingnya paralayang, dkk). Hari pertama ini kami cuma ke satu lokasi, yakni Harder Kulm (furnicular), kerena setelah itu belanja dan masak protein sayur simple (menu simpel: udang-telur-brokoli rebus dan kentang-udang-pizza oven) untuk makan dan bekal beberapa hari ke depan.

Hari 2: berhubung cuaca di puncak lagi salju kecil (lihat webcamenya di sini) dan kami memang mencari salju, kami memutuskan ke puncaknya di hari ini. Jalur: Interlaken Ost – (kereta) Grinderwald Terminal – (gondola) Jungfraujoch. Di Jungfraujoch, kami menghabiskan sekitar 4 jam untuk keliling-keliling. Setelah itu, kami turun tapi via jalur yang berbeda karena mau ke Lauterbrunnen (yang ada air terjunnya). Kami naik hingga puncak terdekat ke air terjun, yang ternyata achievable untuk si bocah. Setelah itu pulang ke penginapan.

Hari 3: si bocah pengin naik kapal. Sehingga, kami berangkat pagi biar bisa ke Grinderward dulu (First Cliff Walk. Kalau mau juga bisa naik atraksi-atraksinya), lalu naik boat ke Brienz (kotanya ya normal, ga sebreathtaking komentar orang), lalu kereta ke Interlaken Ost untuk ke penginapan. Menurut saya, semua tempat populer sudah terjelajahi jadi yasudah istirahat saja di Interlaken makan-makan.

To sum up, Swiss (Jungfrau) itu salah satu bucket list yang memang perlu didatangi at least sekali seumur hidup. Apalagi kalau memang hobi hiking, pegunungan Swiss itu aman dan nyaman untuk mendaki. Tapi, sejujurnya, kalau ada kesempatan memilih tempat jalan-jalan lain, saya lebih bakal memilih countryside Jepang maupun Lombok. Karena… sceneries Jungfrau itu menurut saya mirip countryside Jepang. Ski juga bisa dilakukan di Jepang. Atraksi yang di Jungfrau (paralayang, kano, griding, etc) itu ada di Bali/Lombok. Terutama: makanan di Jepang dan Lombok (yang halal) jauh lebih enak haha. Tapi ya tetep, dijalani at least sekali tetap menyenangkan kok Jungfrau itu.

Standard
Uncategorized

Pendaftaran Haji

Saya agak maju mundur sebenernya buat nulis ini, soalnya sejujurnya saya lebih suka share kalau udah  menyelesaikan hajadnya (sudah menyelesaikan hajinya). Tapi, setelah saya pertimbangin agak lama, insyaAllah semoga ada manfaat yang bisa diambil dari sini. Bismillahirrahmanirrahim.

Jadi, Alhamdulillah, kami baru mendaftarkan diri kami (suami dan saya) untuk haji dari Indonesia. Ada beberapa kontemplasi kami:

  1. Kenapa tidak haji dari Belanda saja, kan lebih cepet? Kan anak bisa dihandle sama sitter / dikirim ke Indonesia untuk dihandle kakek neneknya? Kami tidak merasa opsi itu pas untuk anak kami saat ini. Dia ada sekolah nyaman di Belanda, tapi kami merasa dia masih terlalu kecil untuk ditinggal dengan sitter tanpa sanak saudara di LN. Terlebih, berhubung kami memang berniat balik ke Indonesia dalam beberapa tahun mendatang, ya kami menunggu anak (-anak) agak besar dulu dan posisi sekolah semua anak di Indonesia. Tapi, kalau memang situasi memungkinakn untuk haji dari LN, lakukan aja! Testimoni temen-temen saya yang haji dari LN itu positif kok, seperti faktor sociocultural (katanyaaa petugas di Arab lebih respect begitu ngelihat nametag mereka adalah rombongan haji dari Eropa haha. Entah ya itu fakta atau perasaan subjektif orang yang cerita ke saya atau fakta) hingga ke faktor durasi yang lebih singkat.
  2. Tapi, regardless berapapun usia anak dan apapun kondisi tersier kita, mendaftar haji itu wajib bagi yang mampu. Hemat saya, begitu kami mampu liburan (atau bisa bayar sekolah anak), ya berarti itu mampu buat daftar haji; karena wong biayanya mahalan ke UK/bayar sekolah daripada daftar haji reguler. Kami malu sama Allah kalau bisa liburan, atau menunaikan pembelian duniawi lain, tapi belum daftar haji. Dan buat daftar haji, menurut saya, ga perluuu nunggu sampai merasa hati tergugah atau merasa getaran hati terpanggil dll. Karena saya jujur nggak merasakan apapun getaran-getaran tersebut hingga saat ini. Tapi, saya cuma sebatas menggunakan logika dan pemahaman sederhana aja: kalau Islam, bisa keluar duit buat yang lain-lain, yaudah wajib daftar haji. Sesimpel itu 🙂

Kami daftar haji reguler dari kota KTP kami: Sragen. Padahal rumah kami di Depok haha, tapi ya berhubung kami belum sempat urus perpindahan KTP ke Depok, yasudah daftar ajalah via Sragen yang lebih cepat. “Apa ga repot itu Fir, buat manasik haji dll-nya?”.

  1. Pindah domisil haji itu memungkinkan. Tadi saya tanyain ke petugas haji di kantor Layanan Haji dan Umroh Terpadu Sragen. Prosedurnya adalah: begitu sudah dipanggil haji di domisil pendaftaran, kita bisa pindah untuk kontingen keberangkatan. Jadi, kami tadi kan daftar di Sragen yang antriannya adalah 32 tahun. Jadi, misal kami dipanggil gilirannya pada (anggeplah kalau tidak ada perubahan) 32 tahun lagi, barulah pas itu kami bisa mengajukan perpindahan ke lokasi lain. Sebenernya sih, kalau kami di Indonesia, lebih enak buat pindah domisil sekalian sih ke Depok baru daftar haji; toh insyaAllah long term kami bakal tinggal di sana. Tapi, karena situasi kondisi, dan memang motivasi daftar haji ini adalah “yang penting gugurin kewajiban” dulu, yasudahlah. Biar kalau kami Qadarallah meninggal besok, insyaAllah kami meninggal dengan niat menggenapkan rukun Islam kelima. 
  2. Dan terutama…. Bismillah semoga bisa menjadi pertimbangan para pembaca yang mempunyai pemikiran sama: kami mendaftar haji reguler dengan intensi untuk meng-cancelnya saat kami insyaAllah terkumpul budget untuk Haji Plus. Preferensi kami adalah Haji Plus (dari waktu tunggu, kenyamanan, dll), namun saat ini alokasi budget belum memungkinkan untuk itu. Tapi, perintah Allah itu daftar haji; ga ada perintah buat daftar Haji ONH Plus atau Furoda atau reguler. Siapa yang bisa jamin kami nggak meninggal duluan sebelum bisa kekumpul budget buat mendaftar Haji Plus/Furoda? Jadi, daftar aja haji apapun yang bisa kita daftar duluan. 

Berhubung kami (read: saya) concern terhadap transisi dari Haji Reguler ke Haji ONH Plus, inilah yang saya rangkum dari petugas di kantor tersebut:

  1. Kantor Layanan Haji dan Umroh Terpadu, at least di Sragen, tidak melayani pendaftaran selain haji reguler. Jadi, informasi ini mungkin tidak lengkap soalnya mereka nggak tau. Yang tau lengkapnya adalah Biro Haji yang bisa menerima pendaftaran haji selain reguler. (seperti dijelaskan di sini).
  2. Jika kita meng-cancel pendaftaran haji reguler kita, semua biaya pendaftaran haji reguler (yang 25 juta/orang itu, di tahun 2023 ini) akan kembali full. Entah ada biaya administrasi bank atau tidak, yang pasti sekitar segituan yang bakal balik.
  3. Saat kita tidak jadi menunaikan haji reguler yang sudah kita daftarkan, nomor antrian kita BISA dilimpahkan ke kerabat dekat (spouse, ortu, anak, saudara kandung) asalkan…. alasannya karena meninggal dunia atau sakit permanen. Kalau alasannya adalah karena berubah ke haji jalur lain (ONH Plus/Furoda), antrian TIDAK bisa dilimpahkan. Jadi, kalau kita mau pindah jalur, ya cancel si pendaftaran haji reguler kita. Terus uangnya balik. Kalau uangnya mau diapai buat daftarin anak untuk haji, ya mereka perlu antrian lagi dari awal.

Begitu. Semoga bermanfaat.

Standard
Uncategorized

Umroh (dari Eropa, Visa Transit, + Balita)

Alhamdulillah, beberapa waktu lalu, saya diberi kesempatan untuk berumroh bersama suami dan anak empat tahun. Agenda utama sebenernya adalah ke Indonesia untuk menyelesaikan lumayan banyak urusan. Dan berhubung Saudi Airline memberikan peluang umroh saat transit di Jeddah, ya why not? 🙂

Saudi Airline. 
Saya dan beberapa teman Belanda punya lumayan kisah ga enak sebenernya sama maskapai ini: dulu websitenya  masyaAllah bikin emosi keterlaluan (UI, UX, bahkan loading time-nya), ada yang visa ga dikirim, ada yang call center buntu, ada yang pembayaran gagal, etc. Ada teman, di Desember kemarin, akhirnya ga jadi umroh via Saudi Airline karena nyoba bayar puluhan kali gagal terus; dan saking emang (saat itu) ngeselin websitenya, dia seniat itu buat bikin Google Review semacam ‘kalau bukan buat umroh, ga akan gw pake ini maskapai’ :)))) Tapi, saat kami pesen beberapa waktu setelah itu, surprisingly websitenya jadi mendingan banget! Saking bedanya, sampai suami kirim apresiasi comment ke developernya haha. Tapi, tantangan umroh kami ternyata dalam bentuk lain: 

  1. Pemeriksaan carry-on luggage. Seumur hidup kami naik persawat, baru kali ini kabin ditimbang beneran. Berhubung kami ga persiapan (dan koper kabin melebihi 7kg), kami perlu bongkar koper di counter. Ini sebenernya kayaknya cobaan, soalnya petugas counter yang lain ga ada yang segininya. Tapi, better safe than sorry jadi sejak itu kami selalu pastiin buat ada Plan B begitu tas kabin >7kg.
  2. Pemeriksaan akhir di Saudi. Ini juga pengalaman langka. Biasanya kan yang ketat itu pemeriksaan di bandara keberangkatan. Eh, kemarin justru pas di gate terakhiiir bgt pemeriksaan di Saudi, kami luama bgt. Kayaknya, petugasnya ga ngerti tentang status visa kami. Ini kayaknya aja, soalnya kami ga ngerti apa masalahnya secara…. petugasnya ga bisa bahasa Inggris. Dia justru sepatah-patah ngomong bahasa Indonesia, yang bikin kami tambah bingung hahaha. Kami cuma nebak aja masalahnya di visa, soalnya pas dia manggil bosnya, bosnya jelasin pake bahasa Arab (yang kami juga ga paham) dengan gesture tangan semacam ’empat, Saudi Airline bisa transit empat hari’. Setelah dibolehin lewat, kami nanya dulu sebenernya ‘so, what was the problem?’. Dia cuma kibas tangan aja (iya, emang ngeselin). Kami landing jam 11an malem, baru jam 1-2 pagi kami bisa keluar dari bandara.
    Btw, keuntungan utama dari umroh via Saudi Airline ini, selain dari pemberian visa transit buat umroh, adalah dapet 1 malam hotel gratis sebenernya. Tapi, kami nggak ambil hotel itu karena hotel yang ditawarkan ke kami via website cuma dua dan jauh banget dari Masjidil Haram (lebih deket ke bandara bahkan).

Bersama Balita.
Ini lumayan FAQ: umroh sama balita, emang ga repot Fir? Hmmm, berhubung kami umroh dengan santai (toh ini pengalaman pertama buat kami semua, jadi memang buat experiencing dulu), jadi kerasa woles. Si bocah ga pake popok (kebelet pipis dia ngomong, dan tinggal pipis di WC umum samping mesjid). Dia tawwaf digendong (iyalah, kalau enggak ya bisa kegencet) di area normal. Doi sai jalan-lari sendiri sebelum mimisan hehe, setelah itu baru digendong di dua putaran akhir. Capek ya duduk dulu. Kalau sudah terlalu lelah, kami juga sebenernya ada plan tawwaf sai dengan scooter listrik yang bisa disewa di sini hehe. Sholat ya doi sholat biasa aja di samping ayahnya. Makan juga biasa, di manapun ada resto berayam/seafood, toh pasti makanan halal di sini. Ohya, notenya: kami pakai jasa pendamping umroh (muthawif). Jadi, kami santai karena beliau mengerti area.

Muthawif / Pendamping.
Pendamping kami orang Indonesia. Punya anak usia mirip usia anak kami. Sehingga ya beliau maklum dan tau pace anak kecil. Totally recommended, DM saja kalau mau kontaknya 🙂 Beliau mahasiswa S2 S3 di Mekkah. Beliau juga pernah umroh dengan scooter listrik pas istrinya di setengah jalan cedera, jadi bisa jadi referensi pas bagi para umrohers berpace rendah kayak kami hehe. Sebelum berangkat, bakal ada sesi 1 jam-an buat zoom meeting pengarahan dan diskusi (penting, buat first timer kayak kami).

Total biaya kami adalah sebagai berikut:

  • Pesawat. Harga tiket akan tergantung dengan berapa lama berniat transitnya. Misal tidak berniat transit lama, harga tiket akan paling murah di kelasnya. Kami memilih transit tiga hari (layover sekitar 61 jam) dan tiket PP Belanda – Jeddah – Indonesia kami adalah 2.253 Euro. Harga tiket paling murah untuk tanggal kami via Saudia, jika durasi transit tercepat (sekiar 7 jam, yang berarti tidak memungkinkan untuk umroh) adalah sekitar 150 Euro lebih murah untuk perorang.
  • Visa. 23 Euro x 3 orang (sedia softcopy pasfoto background putih. Bisa foto sendiri aja pake kamera HP bersandarkan dinding, terus edit background dan size)
  • Makanan. Sekitar 200 Euro untuk 3 hari, 3 orang.
  • Souvenir. Sekitar 100 Euro (coklat aja untuk ramai-ramai. Beli di supermarket Clock Tower, lantai paling atas).
  • Hotel. 266 Euro (untuk 2 malam). Hibatullah Hotel. Avoid. Kami pilih hotel ini karena mikir walking distance karena review orang-orang “10 menit jalan”. Tapi ternyata, kami baru tahu kalau jalanan di sini serem buat bersama balita (padahal sudah nebeng potong jalan via aksesnya hotel Anjum). Kalau bersama anak, mending nabung biar bisa yang beneran seberang Masjidil Haram. Naik taksi buat balik ke hotel inipun muter-muter, soalnya banyak jalan sekitar lagi ditutup.
  • Transportasi. Kalau taksi omprengan (yang nyegat di pinggir jalan), kami dibantu muthawif untuk komunikasi dan nawar. Kalau tanpa muthawif, kami pesennya Uber biar anti repot. Kami juga ga ke mana-mana pas umroh ini sebenernya; ke Madinnah-pun enggak soalnya waktunya mepet. Keliling kotapun enggan soalnya capek hehe, jadi ya cuma antara hotel dan Masjidil Haram (dan sekitar masjid). Sehingga pengeluaran transportasi kami minim: total 150an Euro (pick up point Uber di Bandara Jeddah adalah di lantai dasar (samping tempat taksi. Resmi, ada palangnya. Keluar pintu, belok kanan)).
  • Muthawif. 250 SAR = 60an Euro.
  • Cukur @ salon bawah Clock Tower. 20 SAR = 5 Euro.

Coba hitung: enggak sampai 1.500 Euro total pengeluaran kami untuk umroh bertiga. Jauh lebih mahal liburan ke UK atau Swiss hehe. Anw, pembayaran di toko cuma bisa pakai SAR. Tapi, kami ga bawa SAR sepeserpun sebelum di Jeddah dan aman kok. Kami ngambil SAR pertama kali di ATM Bandara Jeddah.

Anw lagi, tentang ihram. Suami make kain ihram sejak di bandara Schipol. Dia ganti baju di kamar mandi depan Gate G7 yang sepi dan bersih (flight kami dari gate G3). Si bocah pake ihram pas di hotel mau berangkat ke Masjidil Haram aja; soalnya ya dia bacaan rukun umroh aja pasti belom bener haha jadi umroh kali ini wisata religi aja buat dia, tanpa mengharap sahnya umroh dia. Ini hasil diskusi kami dengan muthawif sebenernya, soalnya kan kami concern kalau anak kedinginan make ihram selama di pesawat (begitu udah memasuki miqot, kan kalau beneran berniat umroh, maka cowo udah gaboleh make baju, jaket, maupun selimut). Kalau suami, dia berihram di Schipol tapi masih pake daleman dll; baru lepas-lepas pas mendekati miqot. Miqotnya 30an menit sebelum landing di Jeddah (wajib miqot di situ kalau penerbangan dari Eropa. Kalau mau umroh selanjutnya, baru bisa naik taksi ke miqot yang terdekat dengan hotel). Saudi Airline bakal hidupin lampu pesawat dan pengumuman buat siap-siap satu jam sebelum landing. Plus ada pengumuman juga pas udah di miqot. 

Sooo that’s it. Semoga bermanfaat 🙂

Standard
Uncategorized

Inggris, dari Belanda

Inggris adalah salah satu benang merah saya dan suami: saya setahun di Edinburgh, suami setahun di London. Sehingga di 2023 ini, kami memutuskan untuk mengunjungi London dan Edinburgh selama masing-masing satu minggu. Walau kami familiar dengan kedua kota ini, tapi ternyata lumayan banyak hal yang berubah; baik karena memang kotanya sudah berubah dan kami juga sudah berubah dari dulu lajang saat di kota itu dengan sekarang membawa buntut. Sehingga, semoga tulisan ini bermanfaat buat, khususnya, para young-parents yang lagi menyiapkan trip ke Inggris. Enjoy!

To sum up, total expense kami (ini kan yang paling dicari? :p) adalah 2.600an Euro di London dan 1.700an Euro di Edinburgh. Dibandingin kalau liburan ke negara Eropa daratan lain: komponen visa mahal, tapi komponen transpotasi sangat worth it. Berikut rinciannya.

1. Visa
Visa ke UK itu aslinya ga terlalu mahal; 100an EUR per orang (note: sekarang harga naik). Tapiii yang bikin mahal itu jasa layanan dari kantor perwakilan di Belandanya -___- Ada dua kantor perwakilan UK di Belanda: Amsterdam dan Den Haag. Kalau mau via kantor Amsterdam, per-orang +75an Euro; via kantor Den Haag, per-orang +250 Euro. Yasudah kami pilih Amsterdam karena jauh lebih affordable. Laluuu kami baru tau kalau layanan non-premium, opsinya slotnya terbatas di weekday. Sehingga, karena jadwal kerja suami ga fleksibel, suami ambil layanan premium (yang bisa weekend, +70Eur) & dikirim ke rumah (+33 Eur). Sedangkan saya dan si bocah layanan biasa aja. Anw hati-hati pas ngeklik layanna premium; ga bisa dicancel (saat itu) haha.
Lesson learnt: book slot jauuuuh hari. Biar bisa dapet slot weekday yang sesuai preferensi jadwal kita.

2. Transportasi: London

  • Kalau ada pilihan kereta vs pesawat, saya 100% bakal pilih kereta. Karena, pengalaman bulan lalu ke Tokyo via bandara, wah bandara Schipol hebohhh bener; padahal pas itu belom masa liburan dan saya solo trip tanpa si bocah. Sehingga, yang ke London ini kami memutuskan book tiket kereta. Rute kami Rotterdam ke London. Pas berangkat, rutenya Rotterdam ke Brussel (1 jam) lalu dari Brussel ke London (1 jam). Pemeriksaan imigrasinya di Brussel. Pulangnya direct dari London ke Rotterdam (3 jam 28 menit). Pemeriksaan imigrasi tentu di London (King’s Cross). Kasih spare 1.5 jam sebelum jadwal keberangkatan biar pemeriksaan imigrasi bisa tenang. Jangan lupa udah beli makan berat di kereta: walking distance dari King’s Cross ada waffel enak (@ Black Sheep Coffee) dan KFC halal (take away only). Btw, kami juga nitipin koper di seberang King’s Cross: £ 5 perkoper perhari (mau cuma nitip satu jam maupun 23 jam sama aja harganya).
  • Transport di dalam London itu murah banget dibandingin Belanda. Kami make Oyster card buat turis, yang ada cap (batas atas) hariannya. Cap-nya ini perzona. Itungan kasarnya buat kami yang di zona 3/4: perhari kami MAKSIMAL bakal ditarik 8.6 Euro perorang. Mau pemakaian kami riilnya seratus atau seribu Euro (siapa tauu) karena bolak balik naik tube kayak setrikaan, does not matter. Pokoknya ditariknya max 8.6 Euro perorang. Ga ada batas jam (peak hours maupun off peak). Buat semua moda transportasi (kereta, tube, bus, apapun). Real deal banget sih ini. Kartu kami beli online dan kami minta kirim ke alamat di Belanda (bisa juga diambil di stasiun UK sebenernya). Btw, buat anak gratis, ga perlu bikin kartu juga.
  • Visit London = ya kudu sekalian ke Cambridge dan/atau Oxford. Karena keterbatasan energi, kami memutuskan cuma satu aja yaitu ke Cambridge. Ongkos kereta PP London – Cambridge – London adalah… 26 GBP. Iya, itu buat tiga orang! & ternyataa, walaupun kita misal bookingnya buat jam 10 pagi, bisa juga (kami udah nanya petugas) buat masuk ke kereta yang jam berapapun. Pokoknya asal masih di hari yang sama. Salah satu atraksi utama Cambridge adalah punting. Tapi saya udah pernah punting jadi kami skip ini. Tips saya untuk punting ini adalah: tawar harga dengan signifikan! Dulu (lima tahunan lalu), saya bisa dapet harga 10 GBP perorang buat punting ini dengan nawar sadis dan jual mahal. Harga sekarang tentu udah lebih mahal. Tapi kalau kalau orang, masih bisa dapet 25 GBP. Kata temen suami yang S2 S3 di Cambridge (yang kami temui pas ke sana), sebenernya tamu dari anak beberapa fakultas di Cambridge juga bisa minjem punting gratisnya fakultas tsb. Jadi cek-cek aja network kita.

3. Transportasi: Scotland

Dulu, saya hampir selalu jalan kaki pas di Edinburgh. Jadi saya ga familiar dengan bus/tram di sana. Tapi karena ada si bocah yang ikutan (kami ga pake stroller apapun, jadi si bocah 4 tahun ini kami ajak jalan pake kakinya haha), jadi tentu bus adalah penyelamat. Kalau di Glasgow, tiket bus yang one day berlaku buat satu jalur aja (jadi misalnya beli tiket one day buat bus jalur 9/9A, ya cuma bisa dipake di bus jalur itu. Harga 3.9 GBP perhari). Tapi ternyata di Edinburgh, tiket bus one day berlaku buat bus manapun untuk operator itu. Harganya 5.4 GBP perhari. Btw di bus Glasgow maupun Edin (maupun kereta antarkedua kota tsb), anak di bawah lima tahun gratis. Tiket kereta PP Edin-Glasgow harganya 14an GBP per-orang, yang di saat ini bisa dipakai di jam berapapun dari stasiun manapun. Di Glasgow, ada bus gratis yang menghubungkan stasiun Glasgow Central dan Glasgow Queenstreet asalkan kita udah beli tiket kereta.

3. Hotel
London:
dengan transportasinya murah, kami ga ada kekhawatiran buat nyari akomodasi di manapun yang deket underground, asalkan masih max zona 4. Tapi, kami salah perhitungan: karena pergantian plan, kami perlu pesen dua hotel yang berbeda. & itu repot ternyata dengan ngebawa si bocah. Terlebih lagi, hotel yang pertama adalah hotel budget yang sempiit bener. Gerak dikit udah nabrak sesama kami. Bayangin aja ada toddler, cowo, di kamar kayak gitu. Bawaannya emosi haha. Baru, di hotel selanjutnya baru pilihan yang tepat. Kami sangat saranin akomodasi ini: no drama, simpel, ga ada biaya aneh-aneh. Apalagi doi di Elizabeth Line dan lima menitan dari stasiun/jalur baru yang modern. 

Scotland: kami akomodasi di Glasgow karena hotel layak di Edinburgh harganya keterlaluan haha. Selain itu, suami juga ada kegiatan di Glasgow sehingga perlu lokasi di situ. Berhubung kami sudah merasakan kalau hotel yang satu apartemen (ada dapur + mesin cuci dry) adalah pilihan tepat untuk kami, kami kerucutin pencarian di booking.com yang the whole apartement. Jadinya bisa masak (sayur wajib banget tiap hari! Plus makanan halal emang susah di sekitaran yang selain makanan Timur Tengah yang saya sama sekali ga prefer). Pakaian juga bawa dikit aja, karena bisa cuci dry gratis tiap hari di akomodasi. Kami di aparthotel ini, yang beberapa langkah dari Glasgow Central Statiun. Oke-oke aja tanpa drama. Kami dapet kamar di lantai 6 (katanya mending minta lantai atas, biar ga denger berisiknya jalanan).

4. Makanan
London:
Salah satu makanan UK yang saya selalu terbayang = Nando’s. Tapi, notenya adalah ga semua cabang Nando’s itu halal. Jadi, cek dulu aja di websitenya. Kami juga cobain resto Indonesia halal yang baru: Triple Hot Spicy. Lokasinya di dalam toko orang (bukan di pinggir jalan), jadi kalau habis ngikutin Gmap ga nemu: tanyalah penjaga toko di situ. Rasanya… hmmm kami prefer resto lain. Tapi, Laksanya enak.  Sebenernya kami juga mau ke Pino’s Warung juga, tapi ternyata udah ga punya energi hehe. Btw tentang makanan London: Fish and Chips itu most likely ga halal ya. Tepungnya bisa krispi itu biasanya karena dicampur beer. Jadi, kalau emang ngidam, carilah yang klaim halal tanpa campuran beer. 

Scotland: Susah benerrr cari makanan halal yang sesuai lidah kami di sini. Baik di Edin maupun Glasgow, makanan halal ya Timur Tengah (yang saya ga suka). Jadinya ya Nando’s cabang halal lagi atau masak sendiri di akomodasi. Ada sebenernya makanan Malaysia, tapi tipe yang jual pork dan bumbunya bumbu Chinese jadi kami ragu (saya DM IG, ga dijawab, jadi yasudah kami ga ke sana karena gatau gimana status kehalalannya).

5. Destinasi (Bersama Toddle)

London: National History Museum & Science Museum (mereka seberangan. Makan siangnya bisa di resto halal deket sana), Imperial College London (kampus si suami), Diana Memorial Park (oke ini pas summer! Sedia pakaian ganti ya buat si bocah), London Eye dan sekitarnya, Cambridge, Buckingham Palace (guide change: 11:00), Big Bang, Young V&A Museum

Scotland: Edinburgh in one day trip = University of Edinburgh (kampus saya), Arthur’s Seat, Calton Hills, Royal Mile, Princess Street Garden (makan siang bisa di Marmaris (beware jam bukanya) atau Mosque Kitchen yang Cafe (beware menu-menu non-Timur Tengah cuma tersedia mulai jam 14; tapi eskrim tetep tersedia sejak buka)). Museum Edinburgh = Dynamic Earth (oke ini!), Museum of Scottish Fire Heritage. Glasgow = Glasgow Science Museum, Free Wheel North. Sebenernya, saya juga berniat naik kereta Harry Potter tapi ga jadi karena ga ada tenaga haha. Lihat Hairy Cow juga bakal jadi pengalaman menarik buat anak, tapi kami skip soalnya waktunya ga memungkinkan.

Soooo that’s it! Semoga bermanfaat.

Standard
Uncategorized

Pelunasan KPR (BNI)

Alhamdulillah. Akhirnya, di tahun ini, kami bisa menyelesaikan hutang yang dari dulu pengen kami selesaikan karena membuat hati ga tenang: KPR.

Tahun 2019, kami memutuskan untuk membeli rumah di Depok.

Kenapa beli rumah tapak? Saat itu, saya sedang hamil. Aset rumah adalah “kepastian” / financial plan utama kami begitu ada anak. Sedangkan, selama setahun pertama pernikahan, kami bermukim di apartemen dan kami merasa bahwa bukan kehidupan di apartemen yang cocok untuk anak. Tentunya juga karena apartemen yang kami tinggali dulu adalah apartemen menengah (Menteng Square dan Basura); kalau kami bisa afford apartemennya Nikita Willy ya tentu bakal beda juga pendapat saya :p

Kenapa Depok? Karena suami seumur hidup karirnya bakal di UI, kampus Depok. Ga ada alasan lain selain itu. Lahir dan besar di Sleman (DIYogyakarta) yang nyaman, tinggal di Depok itu cultural shock significant buat saya sebenarnya haha. Tapi yaaa that’s life and adulting, right? Keuntungan satu-satunya adalah rumah kami lima menitan dari UI, jadi pas saya maternity leave dan anak baru lahir, setiap lunch break, suami saya tarik pulang buat gantiin popok anak dan bawain sesajen buat saya.

Kenapa KPR? Ini juga perdebatan panjang untuk mencari titik temu sebenernya. Karena, cash yang kami punya sebenernya cukup buat beli lunas rumah sangat sederhana. Kalau saya saat itu seorang muslimah taat yang khanaah, tentu saya perlu mendorong suami buat memilih cash keras rumah tersebut. Tapi…. saya belum sanggup buat selegowo itu :””) Setelah beragam diskusi, suami akhirnya mengalah. Walau ibaratnya suami ga ada masalah tinggal di bawah jembatan, tapi suami melihat: saya tumbuh besar dengan cukup fasilitas, dan yang ada malah stress kalau diminta tinggal di rumah sangat sederhana dengan segala lingkungan turunannya. Sehingga, inilah bentuk kompromi kami sebagai pasangan. Walau rumah yang kami beli juga sejujurnya belum sesuai standar saya sepenuhnya (contoh: bukan di kompleks perumahan ternama), tapi ya inilah bentuk kompromi saya juga. Dan kami tidak getol untuk memilih KPR Syariah karena ya… apapun namanya, KPR itu (di mata kami) membuat tidak nyaman. Sehingga, memang KPR ini harus segera diselesaikan, dan jangan diulangi lagi. Kalau ada istri-istri yang bisa berbesar hati mendorong suaminya membuat keputusan untuk memilih rumah sangat sederhana dengan cash keras, saya salut. Karena memang itulah keputusan yang tepat, yang saya belum sanggup memilihnya.

Kenapa KPR dilunasi lebih cepat? Ini bukan pilihan obvious sebenernya. Demi keuntungan finansial, saya tau banyak financial planner tidak menyaranan untuk melunasi KPR segera. Ada beberapa yang justru menyarankan mending uangnya dialihkan untuk sektor produktif lain, atau memindahkan KPR ke bank lain demi bunga yang lebih rendah. Dari segi keamanan finansial-pun, KPR itu ibaratnya adalah safety net untuk keluarga single income seperti kami. Mari bayangkan: kalau ibaratnya ada suami yang pencari nafkah satu-satunya qadarallah meninggal duluan, asalkan rumahnya masih masa KPR, keluarga yang ditinggalkan justru bisa “mendapat” rumah yang menjadi lunas *plus* uang cash yang dikumpulkan untuk rencana pelunasan rumah. Win solution kan? Tapi… kami tidak nyaman saja dengan opsi-opsi tersebut. Kami percaya, KPR adalah hutang. Dan “niat” untuk melunasi semua hutang dengan sungguh-sungguh, tanpa sengaja mengulur waktu, insyaAllah sudah dianggap pahala. Walau jujur, kami juga bukan yang “bondo nekat” banget dalam melunasi KPR ini. Kalau mau lebih nekat lagi, kami sebenarnya bisa meng-uang-kan semua aset/investasi serta hidup lebih frugal dan mengusahakan pelunasan KPR ini sejak 2 tahunan lalu. Tapi, mungkin iman kami saat itu juga belum setinggi itu untuk bisa mencontoh orang-orang yang sepenuhnya berserah ke Allah. Sehingga.. saat inilah usaha terbaik yang bisa kami usahakan 🙂

Bagaimana cara pelunasannya? Sejak awal, saya sudah membuat kalkulasinya: kapan masa pelunasan terbaik yang kami mampu. Sejak awal memulai KPR, berdasarkan kalkulasi, dari 15 tahun masa cicilan, saya hitung insyaAllah kami mampu mengusahakan pelunasan di tahun ke-5. Alhamdulillah, beberapa bulan sebelum lima tahun itu, kami bisa mencapai target pelunasan ini.

Tabel kalkulasi, untuk simulasi. Saya lupa sumbernya dari mana (let me know if it’s yours! So that I can put the credit), namun file kosongannya dapat didownload di file Dropbox saya.

Setelah mencoba beberapa prosedur yang disarankan di blog orang-orang yang kami temui, ternyata ada beberapa prosedur yang sedikit berbeda dengan yang disebutkan di blog-blog tersebut. Per-Juli 2023, langkah kami hadapi adalah:

  • Hubungi kontak yang kami dapat via blog orang dengan menginformasikan: nomor pelanggan (CIF), nomor rekening KPR, nomor rekening tabungan, kantor cabang BNI, dan nama nasabah serta melampirkan Copy Perjanjian Kredit dan screenshot dari sisa saldo pinjaman terakhir. Ternyata, prosedurnya kurang pas. Kami mendapat balasan ini:

  • Sehingga, kami hubungi cc.pelunasan@bni.co.id dengan melampirkan surat formulir permohonan pelunasan yang sudah kami tanda tangani. Dokumen template surat formulir permohonan pelunasan yang kami terima bisa dilihat di link ini.
  • Kami kirimkan dokumen surat formulir permohonan pelunasan di antara tanggal 1-20 (tepatnya 1 September). Email dibalas 6 September. Di bulan September, cicilan masih berjalan seperti biasa. Lalu di 9 Oktober, kami diberikan rincian pelunasan yang sebenarnya: Nominal X. Mencantumkan keterangan:
  • Di hari yang sama (9 Oktober itu), kami balas emailnya seperti di bawah ini. Sebenernya, narasinya bebas, yang penting konfirmasi aja kalau kita acc pendebetan nominal X itu. Kami juga ga tau seharusnya di rekening harus tersedia nominal X dengan atau tanpa saldo blokir. Tapi, buat jaga-jaga, kami siapkan di rekening nominal X tanpa menghitung saldo blokir (jadi, anggep aja saldo blokir itu ga ada dan ga bisa didebet).
  • Ternyata, dibalas di hari yang sama kalau pendebetan bakal segera diproses dalam 1-2 hari.
  • Di tanggal 11 Oktober, nominal X sudah didebet dari rekening kami dan kami menerima email konfirmasinya. Alhamdulillah.
  • Email pembicaraan jadwal pengambilan jaminan (read: sertifikat rumah) kami terima delapan hari setelahnya. Di kondisi kami, kami minta supaya sertifikat rumah tidak perlu kami ambil dulu. Karena kami sedang di Belanda, ga worth it aja balik ke Indonesia cuma demi ngambil sertifikat rumah; dan kami memang sudah ada plan untuk ke Indonesia untuk penelitian dll di beberapa bulan setelahnya. Sehingga, melalui email, kami menceritakan kondisi kami. BNI menyanggupi untuk menyimpan sertifikat rumah kami dahulu dan hanya meminta “mohon kiranya dapat mengabarkan kembali kepada kami apabila bapak sudah berada di Jakarta H-3 sebelum kehadiran di Gedung BNI mohon dapat menginfokan kembali kepada kami”.

Alhamdulillah.

Pelunasan rumah ini tentu bukan titik akhir finansial. Namanya aja manusiaaa ya tentu banyak wish-list lain seperti renovasi rumah, kendaraan (kami di Indonesia sepeda aja belum punya haha), etc. Terlebih, berhubung kami ga berniat menjadikan rumah tersebut sebagai rumah selamanya, dan ga sampai hati buat ngambil KPR lagi, berarti kami perlu siap cash untuk beli rumah/tanah pensiun di masa depan.

Dana pendidikan dan dana darurat gimana Fir? Nah, ini yang saya maksud tadi. Sebelum “berani” pelunasan KPR ini, dana darurat dan data pendidikan hingga awal SD saya amankan dulu (anak saya sekarang 4 tahun). Saya hitung: biaya TK + biaya masuk SD yang kami incar + SPP untuk minimal tiga tahun pertama SD. Kami sisihkan nominal tersebut. Kenapa tiga tahun? Karena saya mikirin worst case kalau ternyata suami yang pencari nafkah satu-satunya qadarallah kenapa-kenapa, durasi itulah yang saya rasa memungkinkan untuk saya bisa job seeking/settle dll mengusahakan hidup kami selanjutnya. Tentu, semua udah Allah atur. Dan manusia diberi akal untuk berpikir dan berusaha. Jadi ya, kami mengusahakan apa yang bisa kami usahakan 🙂

PS, fun fact:

  1. Kalau dihitung akumulasi cicilan yang sudah ditempuh selama 4 tahunan ini dan segala biaya administrasi bank (penalti pelunasan dkk), kami total membayar sekitar 140-an% dari uang yang kami pinjam.
  2. Nominal X itu adalaaah 87% dari yang kami pinjam haha. Jadi, sebenarnya kalau mau bersabar 4-5 tahunan nabung, kami bisa cash keras rumah kami tsb saat ini. Terlepas dari pendapat “kan harga rumahnya sekarang naik”, “belum tentu bisa dapet rumah yang cocok kalau baru nyari sekarang”, “kan dulu gatau kalau bisa nabung segini”, kami tetap merasa … udahlah gausah KPR. Hitungan duniapun, KPR itu rugi. Harga rumahpun ga naik sejauh itu kok dalam lima tahunan. Mending sabar dulu sajaa dan cash keras/DP sangat besar untuk rumah 🙂

Akhir kata, semoga semua pejuang KPR mendapat kelancaran dalam melunasi KPRnya. Semoga para orang hebat yang berani bersabar biar bisa cash keras tanpa KPR, bisa istiqomah dan mendapat imbalan setimpa 🙂 Best luck!

Standard
Educations

Delft: The First 4 Months

Tanpa terasa, ini sudah bulan keempat kami di Delft. Berkaca dari tulisan 1/3 Edinburgh yang saya tulis beberapa tahun lalu ternyata Alhamdulillah bermanfaat untuk beberapa orang, saya akan rangkumkan juga empat bulan pertama di Delft, dengan topik: keberangkatan (e.g., visa, barang bawaan) dan adaptasi (e.g., biaya hidup, pendidikan anak). Enjoy!

1. KEBERANGKATAN

Seperti saya ceritakan sebelumnya: suami sudah berangkat duluan selama dua tahun ke Belanda untuk PhD dia dan saya menyelesaikan second master dulu. Begitu urusan sekolah dan beasiswa saya beres, kami langsung mencari waktu yang paling pas untuk saya dan anak berangkat ke Belanda. Ada dua hal yang perlu diperhatikan: (i) temperatur. Kami yakin adaptasi anak kami (umur 2 tahunan) bakal lebih menantang kalau temperatur Delft sedang rendah. Jadi kami putuskan untuk datang saat sudah melewati puncak dingin di Delft. Sehingga, walau PhD saya mulainya September ini, sengaja kami berangkat lebih awal untuk adaptasi anak dan berangkat di awal Maret, dan (ii) akomodasi. Pencarian akomodari di Delft, terutama untuk family, itu susaaahhh sekali. Kami menghubungi 20-30 akomodasi yang diiklankan dan cuma segelintir yang membalas. Solusinya? Telpon! Dari pengalaman kami, banyak public maupun private sector Belanda itu tidak responsif membalas email. Sehingga paling tepat adalah menelpon (yang ini juga PR. Belanda adalah negara non-English language paling fasih berbahasa Inggris, tapi automatic answernya sering kali cuma menggunakan Dutch). Btw, go show tidak diapresiasi di Belanda jadi usahakan buat janji dulu. Setelah menelpon dst tersebut, akhirnya kami mendapat kesempatan 3-4x untuk viewing. Viewing dilakukan bersama beberapa orang lain (alias saingan kami untuk mendapatkan akomodasi tsb). Setelah viewing, semua kandidat yang berminat diminta membuat surat lamaran ke landlord (berisi identitas, income kita, dst) dan landlord akan memberi ranking prioritas berdasarkan apapun pertimbangan doi. Btw, sebenarnya kami hanya ranking 2 di akomodasi kami yang sekarang ini. Tapi yang ranking 1 mengundurkan diri, sehingga kami di last-minute bisa mendapat flat ini. Rezeki.

Setelah mendapat akomodasi, langsung kami pesan tiket untuk kami bertiga (suami jemput ke Indonesia dong tentu! Saya gamau sendirian bawa barang dan toddler di penerbangan jarak jauh :p). Kami memilih penerbangan Garuda Indonesia karena, pada saat itu, GA satu-satunya yang direct dari Jakarta ke Amsterdam. Bagasipun transfer dari Yogya (masukin semua bagasi di Yogya dan langsung ambil di Amsterdam). Lalu dari Amsterdam, kami naik taxi ke Delft (99 Euro, booking dan bayar online di sini). Kami berangkat jam 10an pagi Yogya-Soetta. Karena penerbangannya JKT-AMS itu tengah malam (artinya: nunggu setengah hari bersama toddler di kala pandemi), kami booking Anara Hotel yang berada di dalam Terminal 3. Hotelnya bagus, si anak seneng karena bisa lihat landasan pesawat dari dalam kamar, tapi lokasi hotelnyanya masih banyak pegawai bandara-pun belum familiar (jadi telpon dulu aja. Intinya: dari samping Pepperlunch turun lift).

Selama di pesawat, Alhamdulillah tidak ada kendala karena sengaja memilih yang jam anak bobo. Sayapun sengaja bawa bekal untuk anak (terutama: protein), karena makanan di pesawat pasti rasanya menyengat. Mainan tentu saja: puzzle baru, stiker baru, buku pesawat etc. Satu koper kabin anak saya isi full dengan mainan. Untungnya, penerbangan tsb bukan penerbangan pertamanya anak karena pernah naik pesawat saat pengurusan visa ke Jakarta. Ohya tentang visa: (i) anakpun harus datang untuk appointment visa di kedubes belanda. Saya nanya (tepatnya: protes) ekplisit ke petugas yang meriksa berkas dan dijawab kalau anak baru lahirpun tetep harus dateng sendiri untuk dilihat mukanya; (ii) buat pengantar, ada cafe layak di samping lokasi appointment/persis seberang perpustakaan Erasmus Muis untuk menunggu. Masuknya dari pintu yang sama -> appointment belok kiri, ke perpus/cafe belok kanan. Tentang bandara, kalau bawa anak, jangan lupa minta prioritas saat ngantri. Di bandara Belanda, prioritas seperti ini otomatis akan diberikan (petugas inisiatif menyuruh kita langsung ke antrian prioritas). Tapi di Soetta, saya harus nego dulu ke petugasnya supaya bisa ga ikut ngantri di antrian panjanggg jemaah umrah sambil ngegendong anak yang tidur. Tentang barang bawaan, ini list saya saat saya single S2 dulu dan sekarang pas bawa buntut:

2. ADAPTASI

Kasus kami ini agak unik, karena saya: (i) mengawali sebagai dependent suami baru mulai PhD saya sendiri, sehingga intake kami berbeda, dan (ii) sumber funding kami berbeda. Suami sebagai employee TUDelft (digaji kampus TUDelft) sedangkan saya dari LPDP. Sehingga bahkan bagian HR/asuransi/dstpun bingung dengan kasus kami haha. Long short story, ini mungkin beberapa poin yang bisa saya simpulkan:

a. Mending mana: funding LPDP atau employee?

Saya selalu utarakan ke semua temen yang sedang master: kalau besok pas PhD bisa dapat pendanaan dari Eropa, ambil! Karena… sebeda itu dengan external funding. Ada dua perbedaan mencolok internal funding (dibiayai kampus maupun proyek EU) dan external funding (e.g., LPDP), yakni:

(i) Nominal

Dari dulu saya ke mana-mana mencari: sebenernya take home pay-nya gaji belanda itu berapa sih? Saya cuma tau brutonya, seperti di gambar ini.

Standar salary PhD di Belanda (semua kampus sama). Source: https://www.nwo.nl/sites/nwo/files/media-files/Salary%20table%20from%201%20July%202022.pdf

Tapi setelah dikurangi pajak dan ditambah bonus, intinya berapa sih dan kzl ga nemu satupun yang menginformasikan. Padahal penting banget data gituan buat saya yang overthinking ini hahaha. Jadi, saya mencatat selama tiga tahun ini take home pay (THP)-nya suami berapa perbulan. Dengan keadaannya: (i) ada bonus 2x setahun di bulan Mei (summer bonus) dan bulan Desember (holiday bonus), (ii) suami ga ngambil jatah libur (alias jatah liburnya dijual menjadi uang), dan (iii) memakai skema 30% ruling, yaitu 30% dari gaji pokok ga dikenakan pajak (hanya bisa diklaim oleh yang belum pernah ke Belanda dalam lima tahun terakhir). Kesimpulannya: kalau dirata-rata dalam setahun, THP perbulannya ternyataaaa ya sesuai (hampir persis) dengan nominal di tabel itu.

Sedangkan saat ini awardee LPDP akan menerima nett 1.300 (tidak kena pajak) perbulan untuk Delft. Akan ada tambahan +25% perorang kalau membawa keluarga (max +50%. Jadi kalau membawa satu spouse dan anak berapapun, yang diterima adalah 1.300+650 = 1.950 EUR). Apakah ini cukup? Saya selalu menekankan: income dari LPDP cukup bgt kalau single. Saya dan semua awardee (at least kecuali di beberapa kota outliers) yang saya kenal bisa menabung lumayan dari masa sekolah kami dulu sebagai single. Beberapa awardee bahkan bisa naik haji dari Eropa dengan saving itu. Tapi kalau membawa keluarga, cukup tidak? Saya akan jabarin expense family kami di bawah.

(ii) Benefit

Kami ikhlas membayar pajak 38.1% pemerintah Belanda karena benefitnya juga terasa langsung. Selain infrastruktur, ada child benefit 250an EUR per-tiga-bulan yang diberi untuk semua anak di bawah 18 tahun ([Edit: apakah termasuk untuk anak awardee LPDP? Sampai saat ini, kami belum tau karena belum nemu case yang mengajukan child benefit dengan full-LPDP]). Khususnya buat orang tua pembayar pajak, daycare (yang mahal buanget) itu juga disubsidi. Hitungan kasarnya: biaya daycare sebulan (full 5 hari/minggu) itu 2.000an EUR (iya, serius. semahal itu). Kalau kedua ortunya pembayar pajak dengan jumlah jam kerja full-time, bisa klaim kinderopvangtoeslag dan daycare jadi bayarnya 500an EUR sebulan. Signifikan reduksinya. NAAAHHH MASALAHNYAAA PhD external funding (seperti awardee LPDP) ga bisa dapet subsidi ini. Jadi keluarga kami = suami employee pembayar pajak + saya LPDP bukan pembayar pajak = ga bisa dapet subsidi ini. Solusinya gimana dong Fir? Kalau ini, japri sis haha. Panjang sekali soalnya 🙂

Anw. Walau salary internal PhD student = lebih banyak dari LPDP, tapi tanamkan kalau merekapun… adalah pekerja bergaji rendah. Gaji suami saya yang sedang PhD = tetep jauh lebih rendah dibanding gaji anak S2 yang kerja di perusahaan sini. Terlebih, salary PhD Belanda itu bukan terbesar di Eropa. Bisa cek di sini untuk perbandingan salary PhD negara-negara lain. (anw lagi, jangan lupa lapor pajak di SPT Indonesia. Lapor aja, gausah bayar pajak lagi kan udah bayar di sini. Beasiswa juga masuk ke komponen ga kena pajak kok)

b. Biaya hidup berapa?

Selama dua tahun suami tinggal sendirian di Belanda, pengeluaran bulanan dia kurang lebih: 500-700 EUR untuk akomodasi (termasuk bills dan pajak provinsi; dia udah pindah akomodasi 3x mulai dari DUWO, shared house, hingga studio) + 200an untuk makan. Tapi sejak ada anak, pengeluaran membengkak haha karena akomodasi family itu mahal sekali dan Belanda itu ketatttt bgt untuk akomodasi: sebelum BSN kita terima, Gementee akan nanya (wawancara) tentang kelayakan akomodasi kita (kamarnya luasnya berapa untuk perorang, ada jendelanya atau enggak, bahkan temen ada yang diminta nunjukin foto kamarnya). Beda sama kisah di negara lain yang kami tau banget satu rumah kecil dihuni sama 4 keluarga, di Belanda ga bisa gitu. Terlebih, karena kami berdua bakal PhD di TUDelft, kami cari akomodasi yang deket kampus. Siapkan anggaran 1.000-1.500 EUR sebulan (exclude bills) untuk akomodasi dua kamar (anak harus kamar terpisah) di daerah sini. Tapi kalau ga butuh deket kampus, Rijwick dan Den Haag menawarkan opsi yang lebih banyak. To sum up, ini pengeluaran riil kami selama empat bulan:

Expense bulanan kami (Tahun 2022). Disclaimer: Kami baru tiba di Delft pada Maret minggu ke dua dan catatan ini baru memuat hingga Juni tanggal 25. Water ditagihkan per-tiga bulan.

Update 2023. Ada kenaikan harga akomodasi (walau tidak signifikan untuk akomodasi kami. Soalnya ada temen yang naik sampai +500an Euro akomodasinya). Untuk groceries, masih standard kenaikannya. Yang perlu diperhatiin adalah tax tahunan, karena ternyata nominalnya besar (872 untuk daerah kami, untuk tiga manusia)
Update 2023. Ada kenaikan harga akomodasi (walau tidak signifikan untuk akomodasi kami. Soalnya ada yang naik sampai +500an Euro akomodasinya). Untuk groceries, masih standard kenaikannya. Yang perlu disiapkan adalah tax tahunan, karena nominalnya besar (872Euro untuk daerah kami, untuk tiga manusia)

Akomodasi kami tipe semi-furnished. Kasur kami beli sendiri di Matrasdirect (ga di IKEA karena review matrasnya IKEA tidak recommended), mesin cuci+dryer (karena kami pasti wacana kalau perlu ngejemur segala) di coolblue yang bergaransi dan gratis pengantaran-pemasangan, dan pritilan di IKEA (ongkir gratis kecuali barang besar).

Tentang makanan, sejak S2 di UK, saya insyaAllah ketat untuk kehalalan makanan (termasuk bumbu dan bahan campurannya), sehingga hampir selalu si suami masak di rumah. Tbh, mencari restoran halal di Delft itu juga susah, karena: (i) restoran Indonesia ga ada yang halal sekaligus enak (jadi jangan langsung asumsi restoran Indonesia = halal, tidak tidak), (ii) kami bosen sama makanan Turki haha. Opsi restoran halal yang kami suka beli palingan ini: Taste the Best (Mall De Hoven), Karim Fast Food (cobain Hotwingsnya deh). Samara2Go juga bisa. Kalau mau eskrim, minta yang non-alkohol dan gelatin dari soya. Cheesecake bisa terobati di MultiVlaai (cuma menu yang di link itu doang) yang ada counternya di Mall De Hoven. Groceries: Jumbo (Mall De Hoven), AH XL (seberang Mall De Hoven — toiletries lengkap buat anak), LIDL (buat sayur mayur lebih lengkap), dan Polat (toko halal, Mall De Hoven). Shoyu halal juga ada di Polat anw #pentingbuatgw. Tapi katsuobushi gitu ga ada di sana maupun Super Panda, jadi kalau niat bisa order di semacem Gembira atau Azia.

Aplikasi mobile berguna: Getir (diskon banyak, nyampe dalam hitungan menit), Bol (best deal banyak), Marktplaats (semacem eBay, saya dapet sepeda ok dari sini. Sering lebih ok dari facebook group). Situs belanja yang kami udah dan bakal terus pakai: Zalando (jaket proper opsi banyak), Amazon NL (udah much better mereka; ga kayak dulu: 2 dari 3 paket ga ada yang nyampe — untung selalu bisa klaim refund). Untuk bank, walau suami memakai AMRO, tapi saya memakai ING karena di Delft kantor AMRO sudah ga ada dari tahun ini. Membuka akun bank sebenernya gampang bisa via aplikasi, tapi saya bermasalah di tax dan harus ke kantornya untuk verifikasi (kantor cabang yang di central, ga bisa pas cuma ke kantor cabang pembantu yang di dalam Mall De Hoven –> kalau males ribet sebenernya bisa minta bikinin di mall sini. Di dalam toko Primera (iya, di dalem banget samping kasir); kalau ini go show aja gapapa).

c) Sekolah anak gimana?

Sistem pendidikan anak usia dini Belanda adalah seperti ini:

Umur 0-4: Daycare (opsional. Bayar mahal. Kalau kedua ortunya pembayar pajak, bisa klaim Kinderopvangtoeslag seperti yang saya ceritain di atas). Mayoritas daycare menggunakan Dutch aja, dan sepanjang saya nyari cuma nemu dua daycare yang billingual (Dutch + English) di Delft: True Colors dan Eglantier. Kedua sekolah itu kurikulumnya sama, di bawah naungan KinderopvangMorgen. Berhubung waiting list mereka panjang sekaliiii, daftarlah sejak lama. Inceran utama saya sebenernya True Colors soalnya lokasinya persis di samping kantor saya (tapi waiting listnya masih panjang. Nego bilang kalau kami berdua PhD di TUDelft (karena True Color kolaborasinya sama TUDelft)-pun ga dapet prioritas haha). Alhasil kami masukkan ke daycare Eglantier. Karena mahal, cuma mampu seminggu dua kali aja haha. Daycare ada yang tipe yang dua kelas seperti True Colors (ruangan anak 0-2 tahun serta 2-4 tahun terpisah), ada yang gabung dari bayi-yi till 4 tahun seperti Eglantier. Biasanya buka dari jam 8an – 18an (tergantung tempat dan program).

Umur 2.5-4: Peuterspeelzal alias Kindergarden. Ini opsional juga, bayar walaupun bayarannya tergantung lokasi. Di Peuterspeelzal naungan Stichting Delftse Peuterspeelzalen (SDP), murah 16 EUR sebulan. Tapi di True Color maupun Eglantier, harga 200an EUR sebulan. Jam 8an-12an siang, dua kali seminggu. Tapi kalau kita punya VVE dari JGZ yang mengindikasikan kalau anak kita butuh durasi sekolah lebih lama, bisa jadi empat kali seminggu. VVE ini juga tricky. Temen saya yang tinggal di Rijwick dan salah satu ortunya PhD TUDelft bisa dapet VVE karena dirasa anaknya butuh sekolah lebih lama untuk catch up Dutch-nya. Tapiii kami ga dikasih VVE padahal udah minta dan nego :”) JGZ ga ngasih VVE karena kami berdua PhD, dan doi bilang “bisalaaah sampean berdua ngajarin anak sampean sendiri, lagian di Delft ya sekolah penuh”. Btw ini juga lebih ngantri lagi kalau mau yang di Delft banget: True Color maupun Eglantier udah setengah tahun ngantri kami tetep ga dapet tempat. Akhirnya Alhamdulillah dapet di naungan SDP tapi mulainya baru bisa.. 6 bulan lagi :)) (Edit: ga ada hujan tapi angin selalu kenceng, pada suatu hari mendadak kami dapet email dari True Color yang mengabarkan ada slot kosong buat Peuterspeelzal. Langsung kami cancel Peuterspeelzal lain dan kami ambil yang Peuterspeelzal True Color soalnya di samping kantor saya persis. Metode belajarnya luar biasa OK, 100% recommended).

Umur 4 tahun: diusir dari daycare maupun Peuterspeelzal. Saatnya masuk bassisschool. Biaya gratis (kecuali Internasional School Delft (ISD) ataupun sekolah swasta lainnya) — paling ada kontribusi 50an EUR aja setahun buat dll dstnya. Tapi mayoritas sekolah bahasa pengantarnya Dutch aja. Yang billingual Dutch+English sedikit, salah satunya Eglantier itu tadi. Cara daftarnya gimana? Hubungi directier-nya (alamat email jangan ditranslate haha saya nyoba 3x failed terus eh ternyata karena alamat emailnya ke-translate). Pas bulan kami datang, pas banget dengan open day jadi kami diminta dateng dan dikasih formulir buat pendaftarannya. Alhamdulillah dapet tempat di situ. Btw daftarnya jauuuuh hari ya. Kami daftar pas si anak menjelang 3 tahunan. Tapi ada itu orang di sebelah yang daftarin anak baru lahir haha. Karena ya seketat itu antriannya. [Update: ternyata kami ga jadi ambil sekolahnya itu, karena si anak ga berkenan. Kami akhirnya masukin ke ISD, sesuai sama permintaan si anak).

Akhir kata, semoga bermanfaat! Selamat menikmati kedatangan.

Standard
Educations

Beasiswa LPDP (Pengalaman S3 2021 vs S2 2015)

Bismillahirrahmanirrahim.

Saya dua kali dikasih rezeki beasiswa LPDP dengan kualifikasi saya yang sebenarnya minim.

  1. 2015: IPK S1 3.04, publikasi nihil, non-LoA (saya ke University of Edinburgh UK).
  2. 2021: IRT beranak bayi, tanpa institusi dan bahkan riwayat resign PNS, publikasi minim, non-LoA (insyaAllah ke TUDelft Belanda).

Pengalaman seleksi saat S2 saya pernah tuliskan di sini. Sedangkan di postingan kali ini, saya akan sharing hasil kontemplasi saya untuk seleksi jenjang S3 karena penekanan untuk S3 tentu berbeda dengan S2. Semoga bermanfaat 🙂

Saya tidak bisa share detail wawancaranya karena (kali ini) ada surat perjanjian kerahasiaan, tapi saya akan share kesimpulan dan jawaban saya dalam menghadapi wawancaranya. Ada tiga poin yang saya garis bawahi:

  1. Kenapa Indonesia perlu kita untuk kuliah topik itu di Luar Negeri (LN). Tarikan:
  • Kenapa harus kita (bukan orang lain. Bukan temen sejurusan kita. Bukan tetangga depan rumah kita)
  • Kenapa topik itu (apa urgensi topik itu untuk Indonesia saat ini dan di masa depan, serta konsistensi minat dan kontribusi kita terhadap topik tersebut selama ini)
  • Kenapa di kampus LN tersebut (jawaban spesifik. Mungkin kampus dalam negeri juga ada yg menawarkan topik itu dengan biaya yang jauh lebih rendah. Argumen kita harus bukan sekedar karena “bagus” “bisa membantu karir” — yang merupakan keuntungan buat kita, bukan Indonesia)

2. Kenapa kita perlu untuk S3. Tarikan:

  • Kalau jalur kita mau jadi dosen, jawabannya bisa lebih singkat. Perlu juga ada peyakinan bahwa kita beneran bakal jadi dosen (misalnya kita ada pengalaman ngajar, ada institusi cantolan, atau sudah diminta suatu universitas di Indonesia untuk bergabung setelah lulus S3)
  • Kalau bukan jadi dosen, bakal lebih panjang jawabannya. Perlu justifikasi kenapa kontribusi yg kita ajukan perlu kita untuk S3, serta argumen bahkan jaminan bahwa setelah lulus S3 kita benar akan melakukan kontribusi itu.

3. Apakah kita bisa diterima DAN lulus S3. Tarikan:

  • Kualifikasi akademik: publikasi di topik terkait, kuliah dan skill yang mendukung.
  • Usaha mencari kampus: LoA, pengalaman sudah menghubungi prospective supervisor.
  • Riset proposal yang ditawarkan: novelty, urgensi, kematangan.
  • Kualifikasi personal: pengalaman manajerial, perjuangan menggapai hasil di segala keadaan, jaminan bahwa situasi keluarga mendukung, pengalaman gagal, dll.

Terhadap ketiga poin tersebut, ini poin-poin jawaban saya:

  1. Kenapa Indonesia perlu saya untuk kuliah topik itu di Luar Negeri (LN).
  • Topik saya adalah tentang cybersecurity (tepatnya: privasi). Sehingga di seluruh dokumen saya konsisten ceritakan tentang pengalaman riset dan kerja di bidang ini (Allah memang sebaik-baiknya perencara. Secara tidak sengaja, saya ada pengalaman di bidang ini sejak lima tahun lalu). Saya juga awali dengan statement bahwa: “sejak sepuluh tahun terakhir, motivasi saya adalah berkontribusi untuk Indonesia” — yang memang benar adanya hehe idealisme masa muda. Lalu saya ceritakan bukti dari motivasi itu (e.g. magang di MPR, tugas akhir tentang DPR, gabung smart city, kuliah S2 yang terkait di Edinburgh, menjadi PNS Kementerian) serta bukti bahwa saya selalu do my best di setiap kontribusi itu. Lalu begitu saya resign PNS dan hendak menjadi akademisi, saya ambil S2 lagi yang teknikal (tekankan IPK 3.98, lulusan tercepat departemen, sambil mengurus bayi no-ART no-nanny suami-LDM) dan pengalaman mengajar di UI. Kesan yang hendak implisitkan adalah: saya seorang yang berjuang, nasionalis, dan strategis. Jika percaya bahwa ada hal bermanfaat yang patut diperjuangkan, saya berjuang maksimal untuk itu tanpa excuse.
  • Lalu saya ceritakan tentang urgensi topik saya. Saya awali cerita tentang riset dengan: “Pak X dan Bu Y pasti familiar dengan berita tentang kebocoran data (ceritakan kasus yang lagi hype). Itu baru awal saja ternyata, Bapak Ibu. Di masa depan (saya ceritain futuristik yang saya yakini, lalu masuk ke ranah spesifik yang akan saya eksplore plus kenapa ranah itu). Di Indonesia sendiri, (saya sadur ucapan direktur BSSN). Meskipun saat ini RUU Perlindungan Data Pribadi di Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 22 sejatinya sudah xxxx, tapi di masa depan ada celah yakni xyz”. Kebayang ya? 🙂 Saya implisitkan bahwa saya familiar terhadap: (1) state-of-the-art dan arah riset di ranah spesifik saya, (2) situasi Indonesia saat ini dan critical thinking tentang peluang masa depan di ranah spesifik saya itu. Lalu saya jabarkan kontribusi spesifik (“apa”, “untuk lembaga mana”, “apa signifikansinya”) yang saya niatkan bagi Indonesia pada 5, 10, 15 tahun mendatang.
  • Tentang kampus tujuan, ini agak tricky buat saya. Kebetulan suami saat ini PhD tahun ke-2 di TUDelft. Sehingga pasti ada asumsi kalau saya sekedar nyusul suami (dan iya, beneran ditanyain gitu sama pewawancara haha). Jadi saya sudah siapkan jawaban ini: “sejak awal, saya sudah diskusi dengan suami. Karena topik saya tentang privasi, di Indonesia, RUU PDP secara eksplisit menyebutkan bahwa rujukannya adalah Uni Eropa. Di Eropa, yang paling xxx adalah kampus A dan B. Nah untuk bidang individual saya dan suami, paling bagusnya di kampus TUDelft. Kenapa? Karena XYZ. Terlebih di kampus TUDelft, ada Lab XXX yang afiliasi dengan XXX. Ketua dari Lab tersebut rencananya akan saya propose menjadi spv”. Terus ditanya “kenapa bukan kampus B” (saya bisa jelasin meyakinkan karena kampus B itu almamater S2 saya hehe).

2. Kenapa saya perlu untuk S3

  • Alur cerita yang saya tekankan adalah: saya S3 bukan fokus untuk diri saya, tapi untuk Indonesia. Jadi segalanya bukan Syafira-sentris tapi Indonesia-sentris. Bukan Syafira-suka-apa tapi Indonesia-perlu-apa. Saya ceritakan: sejak sepuluh tahun terakhir, saya berkeliling sektor (lembaga legislatif, lembaga penelitian, berbagai lembaga ekskutif) untuk mencari: saya bisa paling bermanfaat bagi Indonesia saat berada di sektor mana. Dan selalu berusaha totalitas setiap berada di sektor manapun (sambil jelaskan impacts/achievements yang didapat). Lalu jelaskan kenapa berpindah sektor –> ini bagian paling tricky dan fokus pertanyaan pada saat wawancara saya. Saya dikejar oleh pewawancaranya kenapa resign PNS karena seolah kontradiktif dengan niat kebermanfaatan bagi Indonesia. Alhamdulillah saya memang paling menyiapkan rangkaian jawaban tentang ini, sehingga akhirnya pewawancara sepakat dengan alasan saya 🙂

3. Apakah saya bisa diterima DAN lulus S3.

  • Daya jual utama saya: (1) mempunyai dua gelar S2 yang saling melengkapi: IT dan social science, (2) pengalaman bekerja di berbagai sektor. Sehingga, sepertinya pewawancara meyakini saya minimal tidak tersisih di seleksi awal dari kampus dan cuma sekilas mengecek nilai bahasa Inggris (btw wawancara saya dengan psikolog 100% Bahasa Indonesia, dengan akademisi 100% English). Bahkan sebenernya beliau tidak menyinggung proposal riset saya sama sekali. Tapi berhubung saya sudah membuat usulan model (print satu lembar A4. plus eksplisitkan di situ: apa signifikansinya untuk Indonesia), saya minta waktu untuk mempresentasikannya (diberi lima menit). Komentar beliau cuma satu “ohyaya. Ini sudah pernah dipresentasikan di depan calon supervisor?”. Karena saat itu saya masih ditolak-tolak oleh banyak calon spv, saya bilang “sudah Pak, ke (sebut nama). Cuma beliau bilang kalau beliau tidak berminat ke arah X dan Y”.
  • Btw, tentang pencarian supervisor, saya menemukan inferensi ini:
    • Ditolak itu sangat wajar. Saya ditolak oleh 3 dari 7 calon spv dengan alasan utama: topik yang saya tawarkan tidak sesuai sama arah gerak riset mereka di masa depan. Padahal saya meng-approach para supervisor setelah membaca 5-25 paper + situs resmi/pribadi mereka untuk meyakini bahwa mereka mempunyai minat di bidang privasi dan artificial intelligence (AI). Tapi ternyata, “yang dulu mereka minati” belum tentu “di masa depan juga tetap minat”. Ada juga calon spv yang saya yakin banget beliau expert utama di “privasi by design” dan “AI”, tapi karena saya approach beliau dengan proposal tentang privasi+AI+Internet of Things (IoT), beliau menolak karena tidak berminat tentang IoT (kesimpulan: riset proposal jangan terlalu spesifik saat approach spv. Setelah itu, setiap saya mengajukan riset saya selalu cuma di “privasi” dan “AI”, dengan case-nya saya jelaskan bisa fleksibel. Setelah diskusi pertama dengan calon spv, barulah bikin proposal yang lebih spesifik).
    • Saya merasa jika kualifikasi yang selalu ditanyakan saat wawancara dengan calon spv adalah: (i) risetnya potensial? (ii) background keilmuan sesuai? (ii) orangnya ‘PhD material’? –> pengalaman menyikapi kegagalan (karena ya sepanjang S3 itu = bakal jadi kumpulan pengalaman gagal :p), critical thinking (ada temen cerita: dia saat interview S3 diajak sejam menelaah dan mencari celah atas paper), pengalaman publikasi. Kalau tentang keluarga, menurut saya bukan concern-nya spv. I mean.. beda dengan LPDP yang sering kali pewawancara menanyakan situasi keluarga (“suami gimana kalau ditinggal sekolah?”, “bisa konsen tidak kalau ada anak”), sepanjang semua wawancara spv, saya tidak pernah ditanya mengenai kondisi keluarga. Imho orang Eropa tidak kepo tentang hal seperti itu. Palingan sekilas lalu saja ditanyakannya.
    • Jangan cuma berpaku pada LPDP. Apalagi untuk jenjang S3 di Eropa, dengan sangat jujur saya bakal bilang kalau bisa dapat beasiswa lain seperti beasiswa EU atau funding dari kampus, mending beasiswa lain karena.. nominal yang didapet beda banget. Bisa dilihat di sini untuk gambaran income PhD employee-nya Belanda (semua kampus sama, jangan lupa minta keringanan pajak). Tapi kelebihan dari LPDP (berarti sebagai external funding PhD student): (i) jauh lebih fleksibel jam kerjanya, (ii) lebih mudah diwelcome oleh calon spv (karena ya mereka dapet ladang publikasi gratis kan hehe. Walau kalau kata spv-nya suami, menerima external PhD student itu juga tantangan tersendiri karena perlu memastikan kalau orangnya bisa lulus. Secara kalau anak bimbingan tidak lulus, si spv dan promotor yang akan mendapat penilaian buruk). Anw, saya menyiapkan jawaban ini jika saat wawancara LPDP ditanya tentang “kenapa memilih beasiswa LPDP?“, yakni actually, LPDP is not my only option. Because my love for Indonesia is rock solid, I will come back help the developments of Indonesia regardless LPDP gives me the funding or not. But I find it more challenging to get a PhD acceptance without bringing my own funding. Within ths year, I have tried to obtain EU scholarship and funding from the univesity, and got interviewed three times. But I only got shortlisted. The prospective supervisor told me that he was greatly interested in me but his limited funding forces him to choose only one, between me and other candidates. He asked me to try again in next opportunities, and from my discussion with other PhD students, the chance to get approved is higher if we bring our own funding.
  • Saya juga ditanya tentang kepastian kembali ke Indonesia. Saya jawab dengan pragmatis bahwa suami harus kembali ke Indonesia karena sudah dosen tetap di UI, sehingga ya kami pasti bakal kembali hehe. Ohya karena suami akan PhD tahun ke-3 saat saya mulai kuliah, saya ditanya juga tentang timeline keluarga kami –> tarikannya menurut saya: apakah kami keluarga ‘ingkar janji’ yang suami tidak kembali setelah lulus S3 demi menemani saya selesai kuliah. Sehingga saya jelaskan kalau suami bukan beasiswa dari LPDP (dia statusnya employee TUDelft) sehingga sebenarnya tidak ada kewajiban kembali ke Indonesia segera (kecuali kewajiban dari UI, tapi itu beda cerita).

Jadi, apa kesimpulannya? 🙂

  1. Siapkan sebaik mungkin. Telaah diri sendiri untuk tau kira-kira ‘celah’ diri kita di mana. Kayak saya, jelas banget calahnya adalah: (i) pernah resign PNS, (ii) belum ada cantolan institusi, (iii) suami sedang kuliah di univ yang sama sehingga akan disangka sekedar nyusul. Sehingga saya matangkan sekali jawaban untuk tiga pertanyaan itu. Daaannn tiga pertanyaan itu memang muncul menjadi fokus pertanyaan saat wawancara saya.
  2. Mundur sejenak untuk bisa maju. Setelah resign PNS dan jadi IRT, saya sadar kalau saya tidak punya daya jual ke pemberi beasiswa maupun kampus tujuan. Apakah lalu saya nerima begitu saja? Ya tidaaakkk. Kalau tidak ada jalan, ya bikin sendiri jalannya. Saya cari kesempatan ngajar (Alhamdulillah dapet di UI. Sebagai dosen ‘terbang’ ber-SKS minim, renumerasinya bahkan lebih kecil dari gaji perawat yang menjaga anak saat saya ngajar hahaha). Saya lalu tunda ikutan suami ke Belanda untuk ambil S2 lagi di Indonesia, dan push diri sendiri buat dapet IPK maksimal + publikasi, sambil merawat newborn posesif no-nanny no-ART. Kuliah sambil ngegendong nidurin anak, presentasi sambil nyusui anak, ngoding ngepaper sambil dikejar anak yang minta main; semua jadi memorable buat saya 🙂 Sekaligus jadi amunisi untuk meyakinkan para pihak kalau: saya tidak punya masalah untuk jadi PhD couple walaupun punya bayi, karena saat sendirian+anak masih kecil nan demanding-pun, Alhamdulillah bisa perform juga studi saya.
  3. Yakinkan LPDP kalau investasinya tepat guna, dan serahkan sisanya ke Allah. Yakinkan kalau: kita bisa lulus (yang tidak lulus S3 itu banyak bung) dan bisa bermanfaat. Karenaaa S3 LN itu mahal sekalii dibandingkan DN. Saya hitung-hitung, biaya S3 saya itu 120.000an Euro (sekitar Rp 2 Milyar); itu bahkan di luar family allowance, uang pesawat, uang publikasi, asuransi, dst. Bandingkan dengan S3 DN (contoh: UI) yang hitungan kasar saya, sekitar Rp 350jutaan. Walau nominalnya sudah tidak up-to-date, tapi laporan rencana LPDP 2013 juga bisa membantu membayangkan bahwa total empat tahun S3 di LN (sekitar Rp 4,1 Milyar) = hampir 9x lipat dari biaya empat tahun S3 di DN (Rp 472juta). Sehingga, saya rasa LPDP akan lebih perhitungan untuk meloloskan kandidat S3 LN. Kemarin banyak teman saya (pejuang S3 LN) yang belum rezeki padahal saya pikir mereka LPDP-material (ada yang S2-nya awardee LN, ada yang PNS senior, ada yang sudah dosen tetap, dengan hampir semua sudah mengantongi LoA Uncon). Saya tidak tau apa yang terjadi di wawancara mereka. Mungkin, mereka mendapat pewawancara yang jauh lebih kritis dibandingkan saya. Mungkin, ada masalah teknis dll. Mungkin, rezeki mereka di beasiswa yang lebih besar nilainya. Kalau sudah begini: serahkan sama Yang di Atas. Kerena rezeki tidak akan tertukar.
  4. Saya tau kalau saya ber-privilege. S2 DN masuk ke skema financial kami, suami berkenan menyesuaikan timeline keluarga agar saya bisa S3, dan ortu memungkinkan cuti untuk membantu menjaga anak setidaknya saat saya ujian/interview. Tapi, saya mengelilingi diri dengan lingkungan orang-orang hebat tanpa privilege finansial dan tau bahwa keadaan mereka (yang dengan segala cara akhirnya bisa ke posisi sekarang) menghasilkan individu yang lebih matang dibandingkan saya. Contoh terdekat? Ya si suami 😉 Dia dulu dari keluarga under-privilege. Dari kota kecil yang bahkan saya baru dengar namanya, tidak disupport ortu untuk kuliah ke Jakarta karena faktor biaya, dan saat akhirnya nekat daftar UI-pun hampir tidak meneruskan karena bahkan uang pangkal Rp 5 juta-pun tidak bisa mengusahakan. Hasilnya? Daya juang dan daya lentur luar biasa. Saya yakin, perjuangan di masa-masa terbawah mereka pasti sangat berat. Tapi, merujuk si suami dan teman-teman yang dari kondisi sejenis, it will be paid off insyaAllah — dan jauh lebih besar dibanding orang seperti saya dengan deltanya tidak sedrastis mereka.

Kalau ada yang butuh lihat esai saya (minus personal statement tapi hehe karena terlalu privat), bisa langsung sertakan alamat email di komen; insyaAllah saya kirimkan secepatnya. Berhubung bulan Maret – Juni 2022 saya akan lumayan lowong, kalau ada yang hendak mendaftar S3 LN dan butuh tambahan mata untuk review esai dan/atau mock interview, langsung DM saya di IG juga bisa. Gratis 🙂 Saya menerima bantuan berharga dari banyak orang di setiap langkah saya, jadi ijinkanlah saya meneruskan amal jariyah mereka walau sedikit.

Akhir kata, semangat kawan-kawan. Enjoy the process!

Standard
Life Contemplations

Growing Up: a Teaser.

Hello. After more than a decade since I started blogging, finally, I purchased my own domain. Actually, the thought of moving out from my old WordPress account had already come into my mind since last year but yeah changing has never been easy. Although my old domain (herephy.wordpress.com -> my nickname in the high school was “phy“. So, herephy means “phy is here”) is neither representative nor a positive branding, that domain had accompanied me for more than ten years. Leaving it is like leaving my own self and everything that I had built in these years.

Unfortunately (or rather: fortunately?) I suddenly lost its password and failed to restore it by any means. When I realised that I could no longer access it, I froze for a moment. Not because I was sad or such, but it was like.. I was given a crystal clear signal to move on. It was a mixed feeling. In one side, I was relieved as I got the final push that I really needed. But on another side, all of the memories of the events that have happened and were written in that account came into my mind. I really treasure my WordPress account. Only the selected writings were published, with the editing processes usually took 2 weeks until 3 months. Each post does not only contain the summary of occurred events but also their following contemplations and reflections. In short: each post is the witness of my growing-up process.

But then I realised: that is precisely what growing up is like. Rarely does growing up is a choice. In most of the times, growing up is a must; regardless we are ready or not. In most of the times, although we have already been aware that we need to change, we need to grow up, but we hesitate. We need to be pushed. Either with our own resolution or with sudden events like a loss of password.

Therefore, in the next post, I will officially start filling up this new domain with the theme of ‘growing-up‘. InsyaAllah. As I am now 25, I (just recently) understand that I am (already) an adult. In term of career: I had a job with a title and real-responsibilities sticks to it, I dealt with the hard adaptation needed, I resigned, I got my dream job, and I am again dealing with an adaptation. In social life: I acquired many new friends that I want to trust, I met a significant number of new acquaintances, but I also realised that I am a nerd; an alien; and I have already chosen to enjoy that label. How about marriage topic? There are many reflections about marriage processes that I want to discuss but sorry I will keep it until I officially meet my significant one (which is when he says “saya terima nikahnya” in front of my wali) 🙂

So, see you.

Thank you for still keeping up.

Standard